Skripsi ini mencoba memahami hubungan antara peran swasta pada ruang publik dan derajat kepublikan ruang publik dengan mengevaluasi derajat kepublikan dari tiga jenis ruang publik yang berbeda. Adanya keterlibatan pihak swasta pada ruang publik menyebabkan munculnya ruang ‘publik’ yang tidak sepenuhnya publik. Fungsi ruang publik sebagai ruang demokrasi, tempat untuk seluruh masyarakatnya tanpa terkecuali dapat mengakses dan bersuara, dan merepresentasikan diri, perlahan menghilang dan menandakan tidak adanya inklusivitas dan hak yang setara. Melalui studi literatur, ditemukan bahwa derajat kepublikan suatu ruang dipengaruhi oleh enam dimensi. Keenam dimensi tersebut dikembangkan menjadi suatu indikator untuk mengevaluasi derajat kepublikan ruang publik. Menggunakan indikator tersebut, studi kasus dilakukan dengan mengevaluasi empat ruang yang digolongkan sebagai ruang publik di Jakarta. Hasil studi kasus menunjukkan bahwa ruang publik dengan keterlibatan pihak swasta memiliki derajat kepublikan yang lebih rendah. Namun, faktor utama penentu derajat kepublikan suatu ruang publik terletak pada pengelolanya, bukan pemiliknya. Ada harga yang harus dibayar oleh masyarakat ketika pemerintah mendorong pihak swasta untuk ikut terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan ruang publik. Masyarakat tidak lagi memiliki ruang yang bebas untuk mengekspresikan diri, opini, tujuan, dan kepentingannya.
This thesis tries to understand the relationship between the role of private sector involvement in public space management and the degree of publicness of these spaces by evaluating the degree of publicness of three different types of public spaces. Involvement of private sectors in the development and management of public spaces has led to the emergence of ‘public’ spaces that are not entirely public. This has led to the slow fading of the space’s function as a democratic space, a place where all members of the public are able to access, express and represent themselves, indicating the nonexistence of inclusivity and equal rights. Through literature studies, it was found that a space’s degree of publicness is determined by six dimensions. These dimensions were developed into a comprehensive indicator used to evaluate the degree of publicness of public spaces. Using this indicator, a case study was carried out by evaluating four spaces in Jakarta that are claimed to be public spaces. The results show that public spaces with private sectors involvement have lower degrees of publicness than those that are not. However, the main deciding factor lies on the space’s manager, not the owner. There is a price that the public has to pay when the government encourages private sectors to involve themselves in the development and management of public spaces. That is that the people no longer have a space to express themselves, their opinions, goals and interests.