ABSTRAKStudi ini membahas tentang pengembangan potensi kenyamanan visual individu dengan gangguan spektrum autisme pada sebuah ruang tenang yang bertujuan untuk meringankan perilaku dan emosi maladaptif. Perilaku dan emosi yang maladaptif memiliki keterkaitan yang erat dengan gangguan proses sensorik yang umumnya dimiliki oleh individu dengan gangguan spektrum autisme. Dengan pengoptimalan kenyamanan visual sensorik pada sebuah ruang tenang, diharapkan perilaku dan emosi maladaptif yang sedang dialami seseorang bisa berangsur berkurang. Studi ini dilakukan dengan tinjauan literatur, dan studi kasus pada sekolah yang menyediakan layanan pendidikan khusus, yaitu Sekolah Mandiga, dan layanan pendidikan inklusi, yaitu Lazuardi Cordova GIS (Global Islamic School). Delapan subyek penelitian dengan rentang usia anak-anak hingga dewasa muda terlibat dalam penelitian ini dengan empat subyek pada masing-masing lokasi. Analisis kondisi eksisting ruang tenang dilakukan dengan didukung oleh pengamatan langsung dan simulasi software pencahayaan DIALux evo 8.1. Untuk melakukan pengamatan terhadap perilaku dan emosi subyek penelitian dalam ruang tenang eksisting, dilakukan penilaian yang berdasarkan pada 12 perilaku dan emosi aktif pada instrumen Aberrant Behavior Checklist-Irritability (ABC-I). Penilaian dilakukan pada perilaku dan emosi subyek saat sebelum dan setelah masuk ke dalam ruang tenang dalam setiap rentang waktu 5 menit hingga subyek sudah tenang dan diperbolehkan keluar. Dengan ruang tenang yang memiliki penyebaran intensitas cahaya yang merata, empat subyek penelitian pada Sekolah Khusus menunjukkan penurunan perilaku dan emosi maladaptif sejak lima menit pertama. Sementara itu, subyek pada Sekolah Inklusi, dengan ruang tenang yang memiliki variasi penyebaran intensitas cahaya, menunjukkan perubahan yang beragam. Dua dari empat subyek mengalami kenaikan tingkat masalah perilaku dan emosi, satu subyek tidak menunjukkan perubahan, dan satu lainnya mengalami penurunan masalah. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa subyek penelitian cenderung memilih area yang dekat dengan pandangan keluar dan menjauhi cahaya dengan intensitas berlebih. Usulan intervensi desain ruang tenang yang diusulkan dikembangkan dari tiga pertimbangan utama, yaitu (1) memberikan kenyamanan visual sesuai kebutuhan sensorik individu dengan gangguan spektrum autisme, (2) memenuhi kebutuhan ruang sebagai ruang yang dapat memberikan efek tenang, dan (3) mengantisipasi terjadinya perilaku dan emosi yang membahayakan diri. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan lebih lanjut mengenai ruang bagi individu dengan gangguan spektrum autisme sehingga tercipta lingkungan inklusif dan berkelanjutan.
ABSTRACTThis study discusses the potential of optimizing the visual comfort of individuals with autism spectrum disorder (ASD) in a quiet room. This study aims to propose an architectural intervention that may relieve maladaptive behavior and emotions in autistic users. Maladaptive behavior and emotions have a close relationship with sensory processing disorder that are generally owned by individuals with autism spectrum disorder. It is expected that maladaptive behavior and emotion that are being experienced by a person can gradually diminish by optimizing visual sensory comfort in a quiet room. This study was supported by literature review and case studies in two schools that provide special education services, namely Sekolah Mandiga, and inclusive education services, namely Lazuardi Cordova GIS (Global Islamic School). Eight respondents, ranged in the age of children to young adults were involved in this study, with four respondents on each school. Analysis of the existing condition of the quiet room is supported by observation and simulation through the lighting software DIALux evo 8.1. To observe the behavior and emotion of respondents in the existing quiet room, an assessment based on 12 active behaviors and emotion on the Aberrant Behavior Checklist- Irritability (ABC-I) instrument. Assessments were carried out on the respondents behavior and emotion at the time before and after entering the quiet room for every 5 minutes until the respondent was calm and allowed to leave the room. Four respondents at the Special School, which had quiet room with evenly distributed light, showed a decrease in maladaptive behavior and emotion since the first five minutes of entering the quiet room. Meanwhile, in a quiet room that had variations of light intensity, respondents at the Inclusion School showed various changes. Two out of four respondents experienced an increase in the level of maladaptive behavior and emotion, a respondent showed an unchanged level, while the other experienced a decrease. The result also showed that the respondents exhibit the tendency to choose an area that is close to the outside view and far from the excess light. The proposed quiet room design intervention is a development based on three main considerations, which are (1) providing visual comfort according to the sensory needs of autistic individuals, (2) meeting the room requirements as a space that provide a quiet effect, and (3) anticipating the occurrence of behavior and emotion that may harm. It is hoped that this research may become a reference in the further development of spaces that are dedicated for autistic individuals to make an inclusive and sustainable environment for individual with autism spectrum disorder.