Tesis ini secara umum membahas mengenai akta perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh Notaris yang mana mengandung kepalsuan materiil atas akta tersebut. Peralihan hak atas tanah pada dasarnya dapat diperoleh melalui beberapa proses ataupun cara, yaitu pewarisan, wasiat, hibah ataupun jual beli. Jual beli dapat dilakukan dengan membuat akta di bawah tangan atau dapat juga dilakukan di hadapan pejabat berwenang yang daerah kerjanya meliputi daerah tempat tanah yang diperjualbelikan itu berada, serta terdapat pula ketentuan lain, yakni jika dalam praktiknya para pihak belum dapat memenuhi persyaratan jual beli baik berupa belum dilunasinya pembayaran atas harga yang telah disepakati maupun adanya pengurusan legalitas atas tanah yang masih dalam proses, maka di hadapan seorang Notaris para pihak dapat membuat perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) sebagai perjanjian pendahuluan, yang menjadi dasar kelak untuk pembuatan akta jual beli. Peran Notaris dalam pembuatan akta PPJB tersebut sungguh signifikan pentingnya, yakni memastikan kebenaran penghadap dan obyek yang diperjanjikan, agar kelak tidak terjadi sengketa di kemudian hari yang diakibatkan oleh terbitnya akta tersebut. Karena pada praktiknya banyak sekali sengketa yang diakibatkan oleh dikeluarkannya akta PPJB yang mengandung kepalsuan materiil, sebagaimana terdapat dalam kasus yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu Putusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris Nomor 13/PTS/MJ.PWN.Prov.DKIJakarta/X/2019.
Untuk menjawab dan memaparkan persoalan yang ada, penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dan bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian hukum yang bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap suatu keadaan mengenai pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli oleh Notaris kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip jabatan Notaris dan kode etik Notaris. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jika tanda tangan salah satu pihak adalah palsu, maka sejatinya dianggap tidak pernah diadakan perjanjian. Dengan demikian, perjanjian batal demi hukum karena tidak ada kesepakatan di antara para pihak, yang mana seharusnya perjanjian lahir atas dasar kesepakatan.
This thesis generally discusses the deed of a binding sale and purchase agreement made by a Notary which contains the falsity of the deed. The transfer of land rights basically can be obtained through a number of processes or procedures, namely inheritance, wills, grants or sell and purchase transactions. The sale and purchase transaction can be done by making a private deed or in the presence of a Notary which his/her working area covers the area where the traded land is located, as well as the other provision, specifically if in practice the parties have not been able to fulfill the sale and purchase requirements, either the payment of the agreed price has not been paid or the legality of the land is still in process, so in the presence of a Notary, the parties can enter into a binding sale and purchase agreement (PPJB) as a preliminary agreement, which will become the basis for making the sale and purchase deed. The role of the Notary in making the deed of PPJB is very important, which is to ensure the correctness of the subject and the agreed object, so in the future there will be no disputes caused by the issuance of the deed. Because in practice a lot of disputes are caused by the issuance of the deed of PPJB which contains material falsity, as in the case raised in this study, namely the Decision of the Notary Regional Supervisory Council Number 13/PTS/MJ.PWN.Prov.DKIJakarta/X/2019.
To answer and explain the existing problems, this study is conducted using normative juridical study methods, namely study conducted by examining library material or secondary data, and is descriptive in nature, namely legal study that aims to describe in full the circumstances regarding the making of the deed of a binding sale and purchase agreement by a Notary in accordance with the principles of the Notary's position and the Notary's code of ethics. The results of this study indicate that if the signature of one of the parties contains a falsity, then it is assumed that an agreement has never been held. Thus, the agreement is null and void because there is no agreement between the parties, as should be based on an agreement.