Bahasa yang dituturkan merepresentasikan tindakan tertentu dari penuturnya, tidak terkecuali tindakan yang bermuatan pidana. Penelitian ini merupakan penelitian pragmatik berancangan linguistik forensik yang bertujuan untuk mengungkap dan mendeskripsikan unsur tindak pidana yang melingkupi lima belas data tuturan tertulis yang merupakan barang bukti tindak pidana ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan percobaan makar berdasarkan analisis terhadap asumsi dasar, realisasi, strategi, dan kesahihan tindak tutur atas tuturan-tuturan tersebut. Empat teori utama yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teori praanggapan (Yule, 1975), teori tindak tutur (Searle, 1969), implikatur percakapan (Grice, 1975), dan kondisi felisitas (Austin, 1962 & Searle, 1969). Data dalam penelitian ini bersumber dari dua berita acara pemeriksaan (BAP) yang diperoleh dari Unit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Sumatera Barat (Ditreskrimsus Polda Sumbar), yaitu lima tuturan bersumber dari BAP dengan nomor laporan LP/A/57/V/2019/SPKT Lpk dan sepuluh tuturan bersumber dari BAP dengan nomor LP/194/VI/2016/SPKT-SBR. Secara metodologis, penelitian ini dikerjakan menggunakan ancangan kualitatif dan hasilnya disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa empat belas data tuturan telah memenuhi unsur-unsur yang termaktub dalam undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan percobaan makar. Namun demikian, berdasarkan analisis kondisi felisitas, satu tuturan dari barang bukti bernomor laporan LP/A/57/V/2019/SPKT Lpk tidak memiliki nilai bukti yang kuat untuk dapat dikatakan bahwa penuturnya telah melakukan tindak pidana, khususnya yang berkaitan dengan pencemaran nama baik dan percobaan makar. Selain itu, data-data tuturan dari laporan bernomor LP/194/VI/2016/SPKT-SBR yang mengandung satuan linguistis kanciang, sunekkan ang baliek, dan tumbuang juga tidak memiliki nilai bukti yang kuat untuk dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 45 Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 tentang kesusilaan. Analisis berdasarkan praanggapan dan kondisi felisitas justru menunjukkan intensi/niat/maksud (mens rea) penutur dalam menggunakan kata-kata tersebut adalah untuk merendahkan derajat (menghina dan/atau mencemarkan nama baik) mitra tuturnya―bukan untuk menyerang kehormatan mitra tuturnya dalam ranah seksual/kesusilaan.
The language spoken represents a particular action from the speaker, no exception is criminal action. This study is a pragmatic study with forensic linguistics design. This study aims to uncover and describe the elements of crime that cover fifteen written speech data which constitute evidence of criminal acts of hate speech, defamation, and treason trials based on an analysis of basic assumptions, realizations, strategies, and felicity of speech acts of those utterances. Four main theories used in this study, namely presupposition (Yule, 1975), speech act (Searle, 1969), conversational implicature (Grice, 1975), and felicity conditions (Austin, 1962 & Searle, 1969). The data in this study were sourced from police investigation report (BAP) obtained from the Unit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Ditreskrimsus Polda Sumbar), namely five speeches sourced from the BAP with report number LP/A/57/V/2019/SPKT Lpk and ten speeches sourced from BAP with report number LP/194/VI/2016/SPKT-SBR. Methodologically, this study was conducted using a qualitative approach and the results are presented descriptively. The results of this study indicate that fourteen speech data have fulfilled the elements contained in the law governing criminal acts of hate speech, defamation, and treason trials. However, based on the analysis of felicity conditions, one of speech data from the report numbered LP/A/57/V/2019/SPKT Lpk does not have a strong evidence value to be able to say that the speaker has committed a criminal act, specifically relating to defamation and treason trials. In addition, the speech data from the report numbered LP/194/VI/2016/SPKT-SBR which contains linguistic units of kanciang, sunekkan ang baliek, and tumbuang also do not have a strong evidence value to be said to fulfill the criminal elements in Article 45 Section (1) of Law No. 19 of 2016 concerning decency. Analysis based on presuppositions and felicity conditions actually shows the intention (mens rea) of the speaker in using these words is to demean the degree (insulting and/or defaming) of the speech partner―not to attack the honor of the speech partner in the sexual/decency.