Pada tanggal 19 September 2019, Majelis Pengawas Pusat Notaris (MPPN) memutuskan untuk memberikan izin cuti kepada Notaris di Jakarta Timur (NMDNPU) yang diangkat sebagai anggota DPR dan mengangkat sumpah notaris pengganti (JFY). Permasalahan yang muncul adalah MPPN tidak merujuk kepada Permenhukham No. 19 Tahun 2019 dan telah lalai dalam menerapkan UUJN. Notaris yang cuti tidak saksama dalam memahami prosedur cuti notaris yang diangkat sebagai pejabat negara. Pasal 30 ayat (5) Permenhukham No. 19 Tahun 2019 bertentangan dengan pasal 11 UU No. 2 Tahun 2014. Penelitian tesis ini mengungkap tentang bagaimana keabsahan notaris pengganti dari notaris yang diangkat sebagai pejabat negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bagaimana tanggung jawab MPPN terhadap notaris yang diangkat sebagai pejabat negara yang telah menunjuk notaris pengganti. Untuk itu, digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan fokus kajian pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier serta wawancara dengan narasumber terkait. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, tidak perlu menunjuk notaris pengganti mengacu kepada Pasal 11 jo. Pasal 64 UU No. 2 Tahun 2014. Notaris pengganti tersebut tetaplah sah secara administratif karena telah ada Surat Keputusan Cuti dan Berita Acara Sumpah yang dikeluarkan oleh MPPN, akan tetapi apabila dilihat dari segi peraturan perundang-undangan notaris pengganti tersebut tidak berwenang karena Permenhukham tersebut demi hukum tidak mengikat dan tidak memiliki keabsahan. Akibat hukum terhadap akta yang dibuat oleh notaris pengganti tersebut dari sisi asas praduga sah akta notaris, akta yang dibuat tetap sah memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta autentik. Sedangkan, dari sisi syarat otentisitas akta, sejak awal dinyatakan tidak autentik dan batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada. Pejabat MPPN yang menandatangani surat keputusan cuti, notaris pengganti, dan notaris yang cuti tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban oleh pihak dalam akta yang merasa dirugikan. Atas dasar itu, penulis merekomendasikan agar Ikatan Notaris Indonesia mengajukan judicial review terhadap Permenhukham No. 19 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung, MPPN segera merevisi Surat Keputusan Cuti, dan pihak dalam akta yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan pembatalan surat keputusan cuti ke Pengadilan Tata Usaha Negara serta mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri secara perdata.
On September 19, 2019, Majelis Pengawas Pusat (MPPN) decided to give a leave permission to a Notary in East Jakarta (NMDNPU) who was appointed as a legislative member and took a substitute notary (JFY). The problem that arises is that MPPN does not refer to Permenhukham No. 19 of 2019 and has been negligent in implementing UUJN. The notary who is on leave is not careful in understanding the procedure for notary leave who was appointed as a state official. Article 30 paragraph (5) Permenhukham No. 19 of 2019 contrary to article 11 of Law no. 2 of 2014. This thesis research reveals how the validity of a substitute notary from a notary who is appointed as a state official according to the applicable laws and regulations and MPPN's responsibility towards a notary who is appointed as a state official who has appointed a substitute notary. For this reason, normative juridical legal research methods are used with a focus on the study of primary, secondary and tertiary legal materials and interviews with relevant sources. Based on the results of the study conducted, it is not necessary to appoint a notary to replace article 11 jo. Article 64 of Law no. 2 of 2014. The notary of the place is still administratively valid because there has been a Decree of Leave and Minutes of Oath issued by the MPPN, but from the point of view of the regulations the notary law does not apply because the Permenhukham is not legally binding and has no validity. As a result of the law on the deed made by the notary of the place, in terms of the presumption of validity of the notary's deed, the deed that is made remains valid has the power of proof as an authentic deed. Whereas in terms of the deed authenticity requirements, from the beginning it was stated there was no authentic and null and void by law and the approach never existed. MPPN officials who determine the leave decision letter, notaries, and notaries on leave can be held accountable by the party in the deed who feels aggrieved. On this basis, we suggest that the Indonesian Association's Notary Public file a judicial review of Permenhukham No. 19 of 2019 to the Supreme Court, MPPN immediately revised the Leave Decree, and those in the deed who felt disadvantaged could file a lawsuit for canceling the leave decision letter to the State Administrative Court and file a claim for compensation to the District Court in a civil manner.