Peranan
Central Counter Party (CCP) dalam transaksi keuangan terutama di pasar derivatif menjadi perhatian dan komitmen negara anggota G20 termasuk Indonesia untuk diimplementasikan karena terjadinya krisis global pada tahun 2008-2010. Derivatif memiliki peran penting sebagai alternatif investasi dan pendanaan serta sebagai sarana lindung nilai (
hedging) bagi investor terhadap risiko perubahan harga aset keuangan yang tidak dapat diprediksi sehingga menempatkan investor dalam posisi rugi (
loss). Namun, derivatif juga bisa berdampak negatif dalam hal pelaksanaannya dilakukan secara tidak wajar sehingga bisa berdampak pada stabilitas keuangan dan kerugian investor.
Implementasi komitmen pendirian CCP derivatif direalisasikan Bank Indonesia dengan menerbitkan regulasi pada tahun 2019 yang mengatur CCP untuk Transaksi Derivatif Suku Bunga dan Nilai Tukar (CCP SBNT). Pendirian CCP SBNT yang berada dalam lingkup pasar uang memiliki tantangan tersendiri, baik dari sisi pendanaan maupun penyediaan sumber daya manusia yang memadai, sehingga salah satu pilihan yang mungkin dijajaki dalam pendirian CCP SBNT adalah menggunakan infrastruktur pasar keuangan yang telah tersedia saat ini, seperti infrastruktur PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dimana tugas dan fungsi KPEI berdasarkan undang-undang pasar modal adalah sebagai CCP di pasar modal. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara prinsip KPEI memiliki dasar hukum yang jelas berdasarkan ketentuan di bidang pasar uang dan pasar modal serta KPEI dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Bank Indonesia untuk berperan sebagai CCP SBNT. Namun demikian, tentunya peran KPEI sebagai CCP SBNT yang akan diatur dan diawasi Bank Indonesia akan memiliki
cross cutting issues dengan sektor pasar modal mengingat secara kelembagaan dasarnya KPEI merupakan CCP pasar modal yang tunduk pada beberapa aspek pengaturan di pasar modal. Oleh karena itu, hasil penelitian ini juga menyarankan perlunya Bank Indonesia melakukan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan agar setiap pengaturan dan pengawasan yang dilakukan dapat berjalan secara harmonis serta tidak terjadi tumpang tindih dengan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan.
The role of the Central Counter Party (CCP) in financial transactions, especially in the derivatives market, is the concern and commitment of G20 member countries including Indonesia to be implemented due to the global crisis in 2008-2010. Derivatives have an important role as an alternative investment and funding as well as hedging for investors against the risk of changes in the price of financial assets that can’t be predicted so that puts investors in a loss position. However, derivatives can also have a negative impact if the implementation is done improperly so that it has an impact on financial stability and investor losses. The establishment of a derivative CCP was implemented by Bank Indonesia by issuing a regulation in 2019 governing the CCP for Interest and Exchange Rate Derivative Transactions (CCP SBNT). The establishment of the CCP SBNT within the scope of the financial market has its own challenges, both in terms of funding and the provision of adequate human resources, so that one of the options that might be explored in establishing the CCP SBNT is to use financial market infrastructure that is currently available, such as PT Kliring Penjaminan Efek Indoensia (KPEI) where the duties and functions of KPEI based on capital market law are as CCP in the capital market. This research is conducted using legal normative method. The result from this research shows that in principal, KPEI has a clear legal standing based on the capital market and money market provisions, and is able to fulfill the requirements set by Bank Indonesia to act as CCP SBNT. Nevertheless, the role of KPEI as CCP SBNT which will be regulated and supervised by Bank Indonesia will have cross cutting issues with sectors in capital market because KPEI is mainly a capital market CCP, which is regulated in many aspects by capital market law. Therefore, this research suggests that Bank Indonesia to coordinate with Otoritas Jasa Keuangan so that all regulating and supervising activities by Bank Indonesia and Otoritas Jasa Keuangan could be carried out in harmony and do not contradict each other.