Latar belakang: Nyamuk Culex sp. merupakan nyamuk yang berperan dalam penyebaran berbagai penyakit, seperti filariasis, Japanese encephalitis, St. Louis encephalitis, dan West Nile Fever. Indonesia sebagai salah satu negara endemis filariasis memiliki program eliminasi filariasis, salah satunya dengan pengendalian vektor filariasis menggunakan insektisida. Seiring dengan semakin seringnya digunakan insektisida untuk mengendalikan vektor nyamuk lainnya, dikhawatirkan terjadi resistensi pada Cx. quenquefasciatus terutama terhadap insektisida yang sering digunakan. Resistensi metabolik dan modifikasi situs target dapat diamati dengan adanya peningkatan aktivitas enzim asetilkolinesterase karena enzim asetilkolinesterase merupakan target kerja dari insektisida golongan organofosfat, seperti malation.7 Di Jakarta, belum dilakukan penelitian mengenai tingkat resistensi Cx. quinquefasciatus terhadap malation dan deltametrin beserta aktivitas enzim asetilkolinesterase.
Tujuan: Menganalisis efektivitas malation dan deltametrin pada larva Cx. quinquefasciatus.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental. Sampel penelitian merupakan larva tahap III-IV Cx. quinquefasciatus yang diambil menggunakan teknik random sampling. Sampel akan dipaparkan dengan insektisida deltametrin dan malation dengan lima konsentrasi yang berbeda selama 24 jam. Kelompok larva mati dan hidup selanjutnya akan digunakan untuk uji biokimia enzim asetilkolinesterase menggunakan spektofotometri.
Hasil: Mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,25 ppm) kelompok perlakuan deltametrin adalah 96,8%. Sedangkan mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,5 ppm) kelompok perlakuan malation adalah 100%. LC50 dan LC90 pada deltametrin terhadap larva Cx. quinquefasciatus secara berurutan adalah 0,015 ppm dan 0,106 ppm. Sedangkan LC50 dan LC90 malation secara berurutan adalah 0,052 ppm dan 0,173 ppm. Absorbansi pada uji aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi deltametrin secara berurutan adalah 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. Sedangkan absorbansi pada uji biokimia aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi malation secara berurutan adalah 0,405 ± 0,009 dan 0,237 ± 0,003.
Kesimpulan: Deltametrin dan malation memperlihatkan aktivitas larvisida terhadap larva Cx.quinquefasciatus. Berdasarkan nilai LC50 dan LC90 menyimpulkan deltametrin lebih efektif dibandingkan dengan malation. Malation menghambat aktivitas asetilkolinesterase pada larva Cx. quinquefasciatus, sedangkan deltametrin tidak menghambat aktivitas asetilkolinesterase tersebut.
Background: Culex sp. plays an important role as a vector in spreading various diseases such as filariasis, Japanese encephalitis, St Louis encephalitis, and West Nile Fever. Indonesia as one of the countries endemic in filariasis, has a program in eliminating filariasis, with one of the program done by controlling vector using insecticide. Insecticides used in eliminating vector of filariasis, Cx. quinquefasciatus, are used concurrently in order to eliminate another vector such as Anopheles sp. and Aedes sp. The escalation of insecticide utilization leads to the concern of Cx. quinquefasciatus being resistance against insecticides, especially insecticides that are often used. Metabolic resistance and target site modification in Cx. quinquefasciatus as the proposed mechanisms in insecticide resistance can be seen by observing the activity of acetylcholinesterase due to its role as a target site for organophosphat such as malathion. Currently in Jakarta, there’s no research established regarding Cx. quinquefasciatus resistance against malathion and deltamethrin along with their acetylcholinesterase activity. Objective: Analyzing effectivity of malathion and delamethrin in Cx. quinquefasciatus. Method: The design study used in this research was experimental. Larva Instar stage III-IV Cx. quinquefasciatus was used as samples and chosen with random sampling technique. Samples was exposed to deltamethrin and malathion with 5 different concentrations for 24 hours. Both samples, alive and dead, after the exposure, were assessed for their acetylcholinesterase activity using spectophotometry. Result: Mortality from the highest concentration in deltametrhin-induced group was 96,8%. Meanwhile, mortality from the highest concentration in malathioninduced group was 100%. LC50 and LC90 of deltamethrin was 0,015 ppm and 0,106 ppm while LC50 and LC90 of malathion was higher (0,052 ppm and 0,173 ppm). Absorbance in acetylcholine esterase activity assay in the group of alive and dead larva induced by deltametrhin was 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. While the absorbance in malathion-induced group was lower with the result of 0,405 ± 0,009 in the group of alive larva and 0,237 ± 0,003 in the group of dead larva. Conclusion: Deltamethrin dan malathion both showed larvacidal activity in Cx. quinquefasciatus. According to LC50 and LC90 we can conclude that deltamethrine was more effective than malathion.From the acetylcholinesterase activity assay, we can see that there was inhibition from malathion against acetylcholinesterase while we see no effect against acetylcholinesterase activity from deltamethrin.