Pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum, dan penerimaan pengajuan tersebut oleh Mahkamah Agung telah menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, ada yang berpendapat bahwa putusan-putusan tersebut telah mencederai asas kepastian hukum dan ada juga yang berpendapat bahwa putusan-putusan tersebut merupakan putusan yang tepat sekaligus sebagai wujud penerapan asas persamaan di hadapan hukum yang terdapat di dalam hukum acara pidana. Atas kondisi ini Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 33/PUU-XIV/2016 berusaha mengakhiri pro dan kontra yang ada. Namun apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah memenuhi asas kepastian hukum dan asas persamaan di hadapan hukum yang terdapat dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dengan metode yuridis normatif dan melakukan wawancara kepada beberapa narasumber, penelitian ini hendak membahas 2 (dua) pertanyaan penelitian: Pertama, mengenai keterkaitan antara kepentingan korban dan kepentingan umum dengan peran dan wewenang jaksa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Kedua, mengenai bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XVI/2016 terhadap pemenuhan asas kepastian hukum dan asas persamaan di hadapan hukum. Penelitian ini menunjukkan bahwa jaksa penuntut umum berperan mewakili kepentingan korban dan kepentingan umum dengan tujuan utama untuk memperjuangkan rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUUXVI/ 2016 telah memberikan kepastian kepada terpidana atau ahli warisnya dan jaksa penuntut umum bahwa mereka dapat mengajukan peninjauan kembali selama terdapat ketentuan tertulis yang dapat memberikan hak dan kewenangan itu. Walau demikian, ternyata putusan tersebut tidak dapat memenuhi asas persamaan di hadapan hukum karena tidak mempersamakan kedudukan antara jaksa penuntut umum dengan terpidana dan ahli warisnya.
Judicial review by the public prosecutor, and acceptance of these submissions by the Supreme Court have generated pros and cons in the community, some argue that these decisions have violated the principle of legal certainty and some are of the opinion that these decisions are correct decisions at the same time as a form of application of the principle of equality before the law contained in the criminal procedure law. Due to this condition, the Constitutional Court through decision number 33/PUU-XIV/2016 tried to end the existing pros and cons. However, whether the decision of the Constitutional Court has fulfilled the principle of legal certainty and the principle of equality before the law contained in the criminal justice system in Indonesia. Using the normative method and conducting interviews with several sources, this study intends to discuss 2 (two) research questions: First, regarding the relationship between the interests of victims and the public interest with the role and authority of prosecutors in the criminal justice system in Indonesia. Second, regarding how the decision of the Constitutional Court No. 33 / PUUXVI / 2016 regarding the fulfillment of the principle of legal certainty and the principle of equality before the law. This thesis observes that the public prosecutor has a role to represent the interests of victims and the public interest with the main objective of fighting for the sense of justice that is expected by society. In addition, the decision of the Constitutional Court No. 33 / PUU-XVI / 2016 has provided assurance to the convicted person or their heirs and the public prosecutor that they can submit a review as long as there are written provisions that can provide such rights and powers. However, it turns out that this decision does not fulfill the principle of equality before the law because it does not equalize the position of the public prosecutor and the convict and his heirs.