Tradisi ohaguro adalah tradisi seseorang menghitamkan gigi. Tradisi ini juga ditemukan di banyak negara Asia Tenggara, dan Jepang termasuk salah satu negara yang menjalankan tradisi ini sejak zaman Kofun(250-538). Pada akhir zaman Heian(794-1185), tradisi ohaguro mengalami perubahan fungsi yaitu dari fungsi praktis sebagai pengganti pasta gigi menjadi fungsi simbolik sebagai penanda bahwa seseorang telah menjadi dewasa dan memiliki tanggung jawab selayaknya orang dewasa. Memasuki zaman Edo (1603-1868), seiring dengan berkembangannya patriarki dalam ideologi Konfusianisme, tradisi ohaguro hanya dilakukan di kalangan perempuan bangsawan dengan tujuan semata-mata untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tradisi ohaguro sebagai pratik patriarki pada perempuan bangsawan Zaman Edo, dengan menggunakan teori patriarki Sylvia Walby(1990) dan metode penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi ohaguro merupakan salah satu praktek patriarki dalam ideologi Konfusianisme, yang mengukuhkan kepentingan laki-laki dan memosisikan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Meminjam istilah Walby, hal ini disebut dengan patriarchal culture, yang menunjukkan bagaimana relasi patriarki dalam agama, sebagai salah satu lembaga budaya.
Ohaguro tradition is a tradition where people blackened their teeth. This tradition is also found in a lot of nations in South East Asia, and Japan is one of the nation which used this tradition since Kofun period(250-538). At the end of Heian period(794-1185), the ohaguro tradition undergo changes from a functional meaning that replaces toothpaste to symbolic meaning where it’s serves as a prove that people reached adulthood and have the same responsibilities as an adult. Entering the Edo period (1603-1868), with the growth of patriachy within Confucianism ideology, ohaguro tradition only used by female aristocrats with the sheer purpose of fulfilling interest and needs of the male. This research aim to analyze the ohaguro tradition as a practice of patriarchy within female aristocrats at Edo period, by using the patriarchy theory by Sylvia Walby(1990) and using descriptive analytics method. The result of the research shows that the ohaguro tradition is a form of patriarchy practice from Confucianism ideology, that strengthen male interest and positioning the male as a party that dominate, oppress, and exploit woman. Borrowing Walby’s term, this tradition can be defined as patriarchal culture, that shows the relation of patriarchy within religion, as a cultural constitution.