Sebagaimana diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata, perjanjian tidak memiliki
kekuatan hukum atau tidak mengikat apabila mengandung kausa yang terlarang,
palsu, atau tidak mengandung kausa. Namun, pasal ini tidak mengatur penjelasan
lebih lanjut terhadap kata kausa atau sebab. Selain itu, terhadap kausa yang palsu,
kerancuan juga rawan timbul karena persetujuan dengan kausa/sebab yang palsu
merupakan persetujuan yang secara kasat mata merupakan persetujuan yang sah,
sehingga tidak mudah untuk mengidentifikasi kausanya tersebut. Apalagi kausa
merupakan salah satu syarat sah sahnya perjanjian yang objektif, yang mana apabila
tidak terpenuhi akan mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, hukum harus dapat memperjelas ketentuan tersebut terutama untuk kepastian hukum dalam praktiknya. Tulisan ini akan menganalisa lebih mendalam terhadap masalah-masalah tersebut berdasarkan doktrin dan putusan-putusan pengadilan di Indonesia dengan metode penelitian yuridisnormatif dan bersifat deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, menurut doktrin, dan putusan-putusan pengadilan, meskipun telah terdapat kesamaan pendapat akan perbedaan antara kausa dan motif, sampai saat ini belum terdapat kesatuan pendapat mengenai penafsiran kausa itu sendiri. Perbedaan pendapat ini pun juga mempengaruhi disparitas penafsiran kausa dalam putusan-putusan pengadilan, sehingga seringkali menyebabkan penerapan huknumya menjadi kurang tepat.
As stipulated in Article 1335 of the Indonesian Civil Code, an agreement shall notbe enforceable or binding when its cause is forbidden, false, or does not exist.However, the provision does not further elaborate the meaning of the word cause.In addition to that, for fraudulent causes, it is prone to arise confusion sinceagreements with fraudulent causes in plain sight are often seen as valid agreements,so it is not as easy to identify the causes. Moreover, cause is one of the legalrequirements an agreement and is an objective condition, where if this is not fulfilled it will result an agreement as null and void. Therefore, to avoid that, the law itself must clarify the provisions, especially for legal certainty in practice. This paper will analyse further on this matter based on doctrine and court decisions in Indonesia with a research method of juridical-normative and descriptive. According to the research, based on doctrine and court decisions, although there has been a common opinion about the distinction between causes and motives, there has been no consensus for the exact meaning of cause itself. This difference of opinion also affects to the disparity of “cause” interpretation in court decisions, which often results an improper application of law.