Di Indonesia, kegiatan telefarmasi atau pelayanan kefarmasian jarak jauh telah berkembang luas dan banyak digunakan masyarakat, termasuk pada pembelian obat dengan resep. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari pelayanan ini, namun terdapat hambatan dan tantangan karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan, dan studi yang serupa, termasuk pada penjaminan mutu. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana kegiatan telefarmasi dalam pelayanan resep dilakukan dan mengevaluasi mutu pelayanan berdasarkan kepuasan pasien. Pengembangan kuesioner sebagai instrumen dilakukan berdasarkan dimensi mutu pelayanan kesehatan menurut WHO dan divalidasi dua tahap. Survei online yang dilakukan menghasilkan 106 responden sebagai subjek penelitian. Informasi sosiodemografi, implementasi, dan kepuasan responden terhadap kegiatan telefarmasi diperoleh dari jawaban kuesioner. Kuesioner memenuhi uji validitas dan reliabilitas dengan nilai r masing-masing item pertanyaan kuesioner bervariasi dari 0,378 – 0,857 (r tabel=0,361) dan rentang nilai cronbach’s alpha 0,805 – 0,900 pada setiap bagian kuesioner. Sebagian besar responden (35%) melakukan kegiatan telefarmasi di Jakarta dan komunikasi dengan apoteker/petugas farmasi dilakukan secara tulisan (46,23%) dan lisan (20,76%). Persentase pasien puas pada setiap dimensi dari yang tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah aman (96,2%); adil (90,6%); aksesibilitas (80,2%); efektif (76,4%); efisien (71,7%), dan berpusat pada pasien (61,3%). Uji beda rerata untuk melihat faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pasien menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada rata-rata skor kepuasan pasien kelompok jenis kelamin (p=0,017). Dari hasil analisis skor kepuasan, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pasien (83%) puas terhadap kegiatan telefarmasi yang dilakukan dimana dimensi pelayanan yang berpusat pada pasien memiliki persentase pasien puas yang paling rendah sehingga perlu dilakukan peningkatan mutu pelayanan.
In Indonesia, telepharmacy or remote pharmaceutical care have developed and are widely used by citizen, including prescriptions drug transaction. Many benefits can be obtained from this service, but there are obstacles and challenges due to limited experience, knowledge, and similar studies, including quality assurance. This study aims to explore how telepharmacy activities in prescribing services works and evaluate service quality based on patient's satisfaction. The development of questionnaire as research instrument carried out based on WHO quality of care dimensions and was validated for two stages. The online survey conducted and resulted 106 respondents as research subjects. Respondents' sociodemographic information, implementation, and satisfaction score on telepharmacy were obtained. The questionnaire fulfills validity and reliability test with r value for each question varying from 0.378-0.857 (r table=0.361) and Cronbach's alpha values range at 0.805-0.900 in each part of the questionnaire. Most respondents (35%) using telepharmacy services in Jakarta and the communication with pharmacist have carried out by text (46.23%) and verbal (20.76%). The number of satisfied patients for each dimension from the most satisfied, respectively was safe (96.2%); equitable (90.6%); accessible (80.2%); effective (76.4%); efficient (71.7%), and patient-centered (61.3%). Mean difference test to assess factors affecting patient satisfaction showed that there was a significant difference in average of patient satisfaction scores for gender group (p = 0.017). Based on analysis results, we can conclude that most patient (83%) are satisfied with telepharmacy activities and patient-centered dimension has the lowest satisfied patients, so it necessary to improve services quality.