Mikroplastik dan merkuri dapat menyebabkan efek toksik pada biota perairan, dan berpotensi terpapar pada manusia. Teri anchovy (Stolephorus sp.) yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan komoditas ikan yang berlimpah di laut Indonesia, mudah dijumpai, ekonomis, dan bernutrisi tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis konsentrasi mikroplastik, 2) menganalisis konsentrasi merkuri dari mikroplastik yang ditemukan pada teri anchovy (Stolephorus sp.), dan 3) memberikan rekomendasi porsi teri anchovy yang aman dikonsumsi. Saluran pencernaan teri anchovy diisolasi dan didestruksi dengan campuran 1M NaOH 20mL dan 0,5% Sodium laureth sulfate (SLS) 10mL, kemudian sampel disimpan di suhu ruang. Sampel kemudian dikuantifikasi kandungan mikroplastiknya dengan mikroskop, diuji tipe polimernya dengan Fourier- transform infrared spectroscopy (FTIR), dan diuji kandungan merkurinya dengan Atomic Absorption Spechtophotometer (AAS) unflame cold vapor method. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan referensi. Partikel mikroplastik dan pencemar merkuri ditemukan pada teri anchovy dari kota-kota pesisir Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan mikroplastik ditemukan merata di seluruh lokasi (Sig.0,545). Rata-rata partikel mikroplastik yang ditemukan adalah 224 ± 2,97 par/idv. Tipe polimer yang ditemukan adalah LDPE, HDPE, PP, PS, PET, dan poliamida/nilon. Bentuk dan ukuran secara signifikan mempengaruhi banyaknya partikel mikroplastik yang ditemukan pada teri anchovy (Sig.<0,01). Mikrofiber (217 ± 8,89 par/idv) dan mikrobead (43 ± 12,7 par/idv) ditemukan paling banyak pada teri anchovy dari Krui, Lampung. Mikrofilm (481 ± 16,07 par/idv), dan mikrofragmen (134 ± 15,53 par/idv) ditemukan paling banyak dari teri mamuju. Ukuran mikroplastik yang paling banyak ditemukan adalah 50-500 μm (Sig.0,036). Rata-rata partikel mikroplastik berukuran 50-500 μm pada teri anchovy dari zona tangkap Samudra Hindia Timur (225 ± 4,81 par/idv) lebih banyak dibandingkan dengan Pasifik Tengah Barat (115 ± 2,92 par/idv), namun perbedaan ini tidak signifikan secara statistik (Sig.0,617). Adapun mikrofiber pada teri anchovy dari Samudra Hindia Timur (33 ± 5,76 par/idv), dan Pasifik Tengah Barat (33±5,80 par/idv) memiliki rata-rata jumlah yang sama (Sig.0,944). Hubungan antara panjang total teri anchovy dengan banyaknya partikel mikroplastik yang ditemukan adalah Y = -45,803 + 2,683X. Timbulan sampah bersama dengan lokasinya dapat digunakan untuk memprediksi 11,6% keberadaan mikroplastik berukuran 50-500 μm. Teri anchovy yang berasal dari kota sedang-metropolitan (Mamuju, Krui-Lampung, dan Talisayan-Berau) ditemukan mengandung mikroplastik lebih banyak daripada teri yang berasal dari kota kecil-sedang (Fakfak, Waingapu, dan Karimunjawa). Adapun mikroplastik bersama dengan zona tangkap secara simultan memiliki hubungan yang kuat dengan keberadaan pencemar merkuri (R = 0,557) yaitu sebesar 31%. Meskipun pengaruhnya tidak signifikan secara statistik (Sig.0,075), namun keberadaan mikroplastik bersama pencemar merkuri pada teri anchovy dapat digunakan untuk menurunkan batas maksimum toleransi paparan merkuri. Rata-rata merkuri (HgMPs) pada teri anchovy adalah sebesar 0,034 ppm. Teri meulaboh memiliki konsentrasi merkuri (HgMPs) paling tinggi yaitu sebesar 0,09 ppm. Sementara itu, pencemar merkuri tidak terdeteksi pada teri dari talisayan, Kalimantan Timur. Teri yang berasal dari kota sedang-metropolitan (Meulaboh, Manado, dan Lampung) mengandung lebih banyak merkuri (HgMPs) dibandingkan dengan teri anchovy dari kota kecil-sedang (Fakfak, Kendari, dan Berau). Berdasarkan zona tangkapnya, kandungan merkuri (HgMPs) pada teri anchovy dari Samudra Hindia Timur (0,06 ppm) lebih tinggi daripada Pasifik Tengah Barat (0,03 ppm), namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik (Sig.0,094). Rasio paparan merkuri (HgMPs) masyarakat Aceh paling tinggi, yaitu 1,79 pada laki-laki, dan 1,96 pada perempuan (THQ > 1,0). Masyarakat Aceh, dan Sulawesi Utara terpapar merkuri (HgMPs) paling tinggi (EWI), yaitu sebanyak 0,002 ppm/pekan yang disebabkan oleh ditemukan pencemar merkuri (HgMPs) yang tinggi pada teri anchovy bersama dengan Angka Konsumsi Ikan (AKI) yang juga tinggi. Batas toleransi merkuri (MTI) apabila ditemukan mikroplastik paling ketat pada masyarakat Lampung, yaitu tidak boleh melebihi 0,06 ppm/pekan. Petunjuk konsumsi ikan yang aman diperlukan oleh masyarakat agar dapat menghindari terpapar merkuri berlebih. Adapun rekomendasi nasional bagi konsumsi teri anchovy yang aman dalam sepekan untuk ibu hamil dan menyusui adalah 2-3 kali dengan ukuran porsi sebesar 76 gram. Anak-anak dapat mengonsumsi teri anchovy 2 kali dalam sepekan dengan ukuran porsi 19 gram (1-3 tahun), 38 gram (4-7 tahun), 57 gram (8-10 tahun), dan 76 gram (>11 tahun). Kategori dewasa lainnya dapat mengonsumsi 2-3 kali dalam sepekan dengan ukuran porsi ≤ 362 gram bagi laki-laki, dan ≤ 304 gram bagi perempuan. Sebagai saran, referensi dosis oral (RfD) mikroplastik dan merkuri, serta petunjuk konsumsi ikan yang aman sebaiknya ditetapkan sebagai regulasi oleh BPOM Republik Indonesia.
Microplastics and mercury can cause toxic effects on aquatic biota and potentially be exposed to humans. Anchovy (Stolephorus sp.) used in this study is a fish commodity that is abundant in Indonesian seas, easy to find, has economic value, and has high nutrition. This study aims to 1) analyze the concentration of microplastics, 2) analyze the mercury concentration of microplastics found in anchovies (Stolephorus sp.), and 3) provide recommendations for the safe portion of anchovy consumption. The digestive tract of anchovies was isolated and destructed with a mixture of 1M NaOH 20mL and 0.5% sodium laureth sulfate (SLS) 10mL; the samples were stored at room temperature. The samples were then quantified for microplastic presence under a microscope, the type of polymers was tested using Fourier-transform infrared spectroscopy (FTIR), and the presence of mercury was tested with the Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) unflame cold vapor method. The results are then compared with the reference. Microplastic particles and mercury contaminants were found in anchovies from Indonesian coastal cities. The results showed that microplastics were found in all locations (Sig.0.545). The average particle of microplastic found was 224 ± 2.97 par/idv. The polymer types found were LDPE, HDPE, PP, PS, PET, and polyamide/nylon. Shape and size significantly affect the number of microplastic particles found in anchovies (Sig.<0.01). Microfibers (217 ± 8.89 par/idv) and microbeads (43 ± 12.7 par/idv) were primarily found in anchovy from Krui, Lampung. Microfilms (481 ± 16.07 par/idv) and microfragments (134 ± 15.53 par/idv) were primarily found in mamuju’s anchovies. The most commonly found microplastics were 50-500μm (Sig.0.036). The average size of 50- 500 μm microplastic particles in anchovies from the Eastern Indian Ocean fisheries zone (225 ± 4.81 par/idv) was higher than that of the Western Central Pacific (115 ± 2.92 par/idv), but this difference was statistically insignificant (Sig.0.617). The microfibers in anchovies from the Eastern Indian Ocean (33 ± 5.76 par/idv) and the Western Central Pacific (33 ± 5.80 par/idv) had the same average number (Sig.0.944). The relationship between the total length of anchovies and the number of microplastic particles found was Y = -45,803 + 2,683X. The waste and location can predict 11.6% of microplastic presence in 50-500 μm size. Anchovies from medium-metropolitan cities (Mamuju, Krui- Lampung and Talisayan-Berau) contained more microplastics than anchovies from small- medium cities (Fakfak, Waingapu and Karimunjawa). Meanwhile, microplastics and the fisheries zone simultaneously have a strong relationship with the presence of mercury pollutants (R = 0.557) which is 31%. Although the effect was statistically insignificant (Sig.0.075), the presence of microplastics together with mercury contaminants in anchovies could be used to reduce the maximum tolerance for mercury exposure. The average mercury (HgMPs) in anchovies is 0.034 ppm. Meulaboh’s anchovies had the highest mercury (HgMPs) concentration of 0.09 ppm. Meanwhile, mercury was not detected in the talisayan’s anchovies, East Kalimantan. Anchovies from medium- metropolitan cities (Meulaboh, Manado, and Lampung) contain more mercury (HgMPs) than anchovies from small-medium cities (Fakfak, Kendari, and Berau). Based on the fisheries zone, the mercury (HgMPs) concentration in anchovies from the Eastern Indian Ocean (0.06 ppm) was higher than that of the Western Central Pacific (0.03 ppm), but this difference was statistically insignificant (Sig.0.094). The mercury (HgMPs) exposure ratio of the Acehnese is the highest, namely 1.79 for men and 1.96 for women (THQ > 1.0), so it has the potential to get health side effects. Aceh and North Sulawesi people have the highest exposure to mercury (EWI), which is 0.002 ppm/week, due to the high mercury (HgMPs) pollutant found in anchovy along with the high Fish Consumption Rates (AKI). The maximum tolerable intake (MTI) of mercury when microplastic is found is the strictest in the people of Lampung, which should not exceed 0.06 ppm/week. The community needs safe fish consumption guidelines to avoid excessive mercury exposure. The national recommendation for a safe meal in a week for pregnant and lactating women is 2-3 times with a serving size of 76 grams anchovy fish. Children can consume the anchovy two times a week with serving sizes of 19 grams (1-3 years), 38 grams (4-7 years), 57 grams (8-10 years), and 76 grams (>11 years). Another adult category can consume 2-3 times a week with a serving size of ≤ 362 grams for men and ≤ 304 grams for women. As a suggestion, the reference for oral doses (RfD) of microplastics and mercury and the guidelines for safe fish consumption should be established by BPOM Republic of Indonesia.