Kota Baru Bandar Kemayoran sebagai lahan bekas Bandara Kemayoran telah berkembang menjadi kawasan dengan pusat-pusat aktivitas khas perkotaan. Apartemen mewah, pusat perniagaan, perkantoran, gedung pemerintahan dan taman konservasi dibangun di daerah ini dengan mengusung konsep kota modern. Di tengah pusat-pusat aktivitas formal tersebut tampak hadir pengusahaan lain yang dilakukan oleh sekolompok golongan masyarakat dari sosial ekonomi tertentu yang turut meramaikan Kawasan Kota Baru Bandar Kemayoran, yakni kaki lima. Kehadiran kaki lima di perkotaan sering dianggap sebagai masalah sebab karena kehadirannya kota terlihat tidak lebih indah, menyebabkan kemacetan, hingga mengganggu ketertiban umum. Namun ada kalanya keberadaan kaki lima disikapi secara permisif dan seolah dibiarkan tumbuh di sudut-sudut ruang publik kota. Beberapa peneliti menyebut bahwa situasi tersebut dapat terjadi sebab adanya jaringan relasi, modal sosial, infrastruktur sosial, topologi ruang yang terlibat dalam sebuah praktik negosiasi. Tata kelola ruang kota yang melibatkan praktik negosiasi sebagai bentuk perubahan, penyesuaian, atau bahkan pelanggaran atas regulasi ini dikenal dengan bahasa konseptual vernacular governance. Penelitian ini disusun sebagai upaya untuk mengembangkan penelitian terdahulu, serta menambah pemahaman terkait vernacular governance. Melalui sebuah metode studi kasus, penelitian ini menjelaskan tentang perkembangan kawasan dan pembangunan kembali lahan bekas bandara, serta tata kelola vernakular yang memengaruhi eksistensi dan operasi tata kelola kaki lima di Kemayoran, tentang kelindan aktor dalam hubungan transaksional tata kelola vernakular yang menciptakan kehidupan kaki lima supaya selaras dalam setting perkotaan, dan menjelaskan pengaruh dari adanya hubungan transaksional tersebut terhadap pola spasial kaki lima di Kemayoran. Sorotan bahasan yang juga muncul dari penelitian ini adalah tata kelola vernakular, meski tampak seperti tata kelola yang melegalkan pelanggaran cukup solutif untuk diterapkan sebagai intrumen perubahan dan menjadikan tata kelola ruang perkotaan lebih inklusif dan partisipatif.
Kota Baru Bandar Kemayoran as the land of the former Kemayoran Airport has developed into an area with typical urban activity centers. Luxury apartments, commercial centers, offices, government buildings and conservation parks built in this area by the concept of modern cities. In the midst of these formal activity centers, it appears that there are other businesses carried out by a group of people from certain socio-economic groups who also enliven the Kota Baru Bandar Kemayoran area, namely street vendors. The presence of street vendors in urban areas is often considered a problem because the presence of the city does not look more beautiful, causes traffic jams, and disrupts public order. However, there are times when the existence of street vendors is treated permissively and seems to be allowed to grow in the corners of the city's public spaces. Some researchers say that this situation can occur because of the network of relations, social capital, social infrastructure, and spatial topology involved in a negotiation practice. Urban spatial governance that involves the practice of negotiation as a form of change, adjustment, or even violation of these regulations is known as the conceptual language of vernacular governance. This research is structured as an effort to develop previous research, as well as increase understanding related to vernacular governance. Through a case study method, this research explains about the development of the area and the redevelopment of the former airport land, as well as vernacular governance that affects the existence and operation of street vendors in Kemayoran, about the intertwined actors in transactional relationships of vernacular governance that create the life of street vendors so that congruent in urban settings, and explain the effects of the existence of these transactional relationships on the spatial adaptation of street vendors in Kemayoran. The discussion highlight that also emerges from this research is vernacular governance, although it looks like governance that legalizes violations is quite a solution to be applied as an instrument of change and makes urban spatial management more inclusive and participatory