Penelitian ini mengeksplorasi pergumulan mahasiswa seminari Kristen dalam merengkuh identitas biseksual pada konteks Indonesia. Lebih spesifik, saya menelusuri pengalaman ketubuhan para mahasiswa seminari biseksual, strategi negosiasi yang hidupi, dan agensi seksual yang lahir dari interaksi antara pengalaman ketubuhan dan strategi negosiasi mahasiswa seminari biseksual. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi feminis yang menempatkan keberpihakan terhadap kelompok ragam gender dan seksualitas. Lima subjek yang mengidentifikasi diri sebagai biseksual diwawancarai secara mendalam. Penelitian ini mengungkap pengalaman ketubuhan yang partikular, multidimensional, dan kompleks pada masing-masing individu mahasiswa seminari biseksual. Berangkat dari pengalaman tersebut, muncul paling tidak tiga tema utama sebagai strategi negosiasi yang mereka hidupi: mempolarisasi identitas seksual dan keyakinan agama, menghidupi standar ganda, dan melakukan reinterpretasi teologis terhadap pengalaman serta identitasnya. Agensi seksual yang terbangun juga nampak partikular dan dilakukan dalam kompromi dengan konteks sosial yang heteronormatif. Penelitian ini menawarkan kebaruan dalam perluasan wacana biseksual, khususnya dalam memperjumpakan identitas seksual dan keyakinan agama pada konteks Indonesia.
This study explored the struggles of Christian seminary students in embracing bisexual identity in the Indonesian context. More specifically, I explored the bodily experiences of bisexual seminary students, lived negotiation strategies, and sexual agency taken of the interaction between bisexual seminary students' bodily experiences and negotiation strategies. This study used a feminist phenomenological approach that takes side with groups of various genders and sexualities. Five subjects who identified as bisexual were interviewed in depth. This study reveals the particular, multidimensional, and complex bodily experiences of each individual bisexual seminary student. Based on this experience, at least three main themes emerged as their negotiating strategies: polarizing sexual identity and religious beliefs, living double standards, and carrying out theological reinterpretations of their experiences and identities. Sexual agency that is built also seems particular and is carried out in a compromise with a heteronormative social context. This research offered novelty in the elaboration of bisexual discourse, especially in sexual identity and religious beliefs engagement in the Indonesian context.