Suku Asli di wilayah Riau sudah lama mendapatkan stigma yang melekat pada mereka sebagai masyarakat yang “terbelakang”, “tidak beradab”, dan “tidak beragama”. Adanya berbagai anggapan tersebut secara langsung mendiskreditkan keberadaan Suku Anak Rawa yang selama ini dikenal sebagai kelompok etnis yang sama dengan Suku Akit yang merupakan salah satu Suku Asli di wilayah pesisir timur Riau. Tesis ini ingin melihat hal yang melatarbelakangi kesadaran etnisitas yang muncul sebagai “Suku Asli Anak Rawa” dan berbeda dari Suku Akit. Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah metode etnografi dengan wawancara dan observasi partisipatif sebagai teknik pengambilan datanya. Suku Anak Rawa menggunakan narasi asal muasal untuk mengonstruksikan indigenitas mereka. Mereka secara sadar memilih dan mengondisikan indigenitas yang dikonstruksi melalui konseptualisasi leluhur dalam produksi narasi-narasi mereka untuk mendapatkan pengakuan sebagai Suku Asli yang berbeda dari Suku Akit, Suku Hutan dan Suku-suku Asli lainnya di pesisir timur Sumatera.
Indigenous peoples in the Riau region have long had a stigma attached to them as people who are “backward”, “uncivilized”, and “non-religious”. The existence of these various assumptions directly discredits the existence of the Suku Rawa Anak, which has been known as the same ethnic group as the Akit, which is one of the indigenous peoples in the east coast of Riau. This thesis wants to look at the background of emerging ethnicity as the “Suku Asli Rawa Anak” and is different from the Akit. The method used in this thesis is an ethnographic method with interviews and participatory observation as data collection techniques. The Suku Anak Rawa uses origin narratives to construct their identity. They consciously select and condition their identity which is constructed through ancestral conceptualization in the production of their narratives to gain recognition as an indigenous peoples that is different from the Akit, the Suku Hutan, and other indigenous peoples on the east coast of Sumatra.