Penelitian ini berupaya mengubah perspektif umum terhadap kelompok remaja di fase usia
remaja akhir yang terlibat dalam tindak pidana terorisme dari non victim menjadi designated
victim. Merujuk pada Strobl, designated victim merupakan kondisi dimana seseorang yang
tidak menganggap dirinya sebagai korban, tetapi dianggap sebagai korban oleh
individu/kelompok lain (Strobl, 2010). Melalui in-depth interview, focus group discussion, dan
Analytical Hierarchy Process yang melibatkan informan utama, pendukung, dan pakar,
penelitian ini menemukan bahwa posisi remaja sebagai designated victim dapat dijelaskan
melalui relasi kerentanan, viktimisasi struktural, radikalisme dan terorisme, dan risk society.
Relasi keempat faktor ini terepresentasi dalam 8 konteks sosial yang menjadi latar masa
perkembangan remaja, yakni: konstruksi eksklusivitas beragama dalam sosialisasi primer dan
sekunder, kontribusi konflik keluarga, sifat altruisme sebagai perwujudan solidaritas in-group,
paparan konten radikal secara intensif dalam media sosial, keterlibatan kelompok radikal,
definisi situasi yang berbeda terhadap radikalisme dan terorisme, propaganda dalam peristiwa
politik lokal dan global, dan kebijakan yang bersifat intoleran. Relasi ini menempatkan para
remaja pada realitas berbeda dimana nilai dan norma yang diyakini oleh mereka berbeda
dengan nilai dan norma yang berlaku umum, sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka
adalah korban atau designated victim. Untuk itu, dibutuhkan strategi di level mikro, meso,
hingga makro dalam agenda pencegahan dan penanggulangan pelibatan remaja dalam
radikalisme dan terorisme di Indonesia kedepannya sebagai bentuk perlindungan hak remaja
sebagai individu yang masih dalam proses perkembangan.
This study aims to transform the general perception of late adolescent terrorist participantsfrom non-victims to designated victims. Referring to Strobl (2010), designated victim is asituation where a person does not regard himself/herself as a victim but is regarded as a victimby relevant others. Through in-depth interviews, focus group discussions, and the AnalyticalHierarchy Process involving key informants, supporters, and experts, this study found thatadolescents as designated victims can be explained through relations of vulnerability, structuralvictimization, radicalism and terrorism, and risk society. The relationship between these fourfactors is represented in eight social contexts that serve as the background in adolescentdevelopment as follows: 1) the construction of religious exclusivity in primary and secondarysocialization; 2) the role of family conflict; 3) the altruism as an embodiment of in-groupsolidarity; 4) high exposure to radical content on social media; 5) the involvement of radicalgroups; 6) different definitions of situations against radicalism and terrorism; 7) propaganda inlocal and global political events; and 8) intolerant policies. This relationship placed adolescentsin a different reality where their belief about values and standards are differ from generallyaccepted values and standards, and as a result, they are unaware that they are victims or designated victims. In order to safeguard the rights of adolescents as individuals who are stilldeveloping, strategies at the micro, meso, and macro levels are required in the agenda ofpreventing and overcoming adolescent involvement in radicalism and terrorism in Indonesia inthe future.