Latar belakang: Nyeri punggung bawah (NPB) umum dikonsultasikan ke layanan kesehatan. Nyeri persisten menyebabkan penurunan kualitas hidup dan aktivitas. Pengobatan efektif NPB tidak memadai. Telemedis hadir sebagai layanan kesehatan yang cepat, murah dan mudah untuk deteksi dini dan intervensi. Status pasien yang pernah atau belum pernah didiagnosis dapat mempengaruhi keputusan tatalaksana farmakologi dan rujukan. Oleh karena itu, penelitian ini akan membandingan keputusan tatalaksana farmakologi dan rujukan pada pasien NPB yang pernah dan belum pernah didiagnosis pada layanan telemedis. Diharapkan penelitian ini dapat berguna untuk perkembangan layanan telemedis di Indonesia.
Metode: Penelitian menggunakan desain analitik potong lintang dari database Halodoc pada bulan Maret-April 2020. Pasien dikategorikan menjadi pernah dan belum pernah didiagnosis berdasarkan riwayat penyakit dan diagnosis dokter telemedis. Tatalaksana farmakologi dan rujukan diketahui dari kalimat ‘Doctor Referral’, ‘Prescription’, dan saran oleh dokter telemedis. Hasil: Dari 109 sampel, ditemukan bahwa pasien NPB yang belum pernah didiagnosis memiliki persentase tatalaksana farmakologi yang lebih tinggi (84,1%), sedangkan pasien NPB yang pernah didiagnosis memiliki persentase tatalaksana rujukan yang lebih tinggi (40,6%). Walaupun demikian, hasil uji chi-square menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara keputusan tatalaksana farmakologi (p=0,260) dan rujukan (p=0,326) pada pasien NPB yang pernah dan belum pernah didiagnosis pada layanan telemedis.Kesimpulan: Tidak ada perbedaan yang bermakna antara keputusan tatalaksana farmakologi dan rujukan pada pasien NPB yang pernah didiagnosis dan yang belum pernah didiagnosis sebelumnya pada layanan telemedis di Indonesia. Penelitian selanjutnya memerlukan sampel lebih banyak dan seimbang untuk kedua variabel.
Kata kunci: telemedis, pasien, nyeri punggung bawah, tatalaksana farmakologi, rujukan
Introduction: Low back pain (LBP) is generally consulted. Persistent pain causes decreased quality of life and activity. Effective treatment of LBP is inadequate. Telemedicine is present with its advantages in early detection and intervention. The patient status can influence pharmacological management decisions and referrals. Therefore, this study will compare pharmacological treatment decisions and referrals to LBP patients who have and have never been diagnosed at telemedicine services. It is hoped that this research can be useful for the development of telemedicine services in Indonesia. Method: This cross-sectional analytic study used Halodoc database source in March-April 2020. Patients were categorized into patients who had and had never been diagnosed by telemedicine doctors. Pharmacological management and referrals are known from the 'Doctor Referral', 'Prescription', and advice by telemedicine doctors. Result: From 109 samples, it was found that LBP patients who had never been diagnosed had a higher percentage of pharmacological treatments (84.1%), while LBP patients who had been diagnosed had a higher percentage of referral treatments (40.6%). However, the chi-square test results showed that there was no significant difference between pharmacological treatment decisions (p=0.260) and referrals (p=0.326) in LBP patients who had and had never been diagnosed with telemedicine services. Conclusion: There is no significant difference between pharmacological management decisions and referrals to patients with LBP who have been diagnosed and who have never been diagnosed before at telemedicine services in Indonesia. Future research requires more samples and balance for both variables.