Gaya hidup minimalisme pada akarnya merupakan sebuah aplikasi dari bagaimana individu merespon dan memaknai akumulasi material yang berlebihan. Dengan mengeliminasi hal yang dianggap berlebihan dalam hidup, banyak pengikutnya percaya bahwa hal tersebut dapat meningkatkan kualitas lain dalam kehidupan mereka sekaligus berkontribusi terhadap lingkungan. Namun, kehadiran minimalisme dalam budaya arus utama menghadirkan sebuah paradoks dimana dalam reproduksinya, terutama di Instagram, hanya beroperasi sebagai estetika anti-konsumerisme untuk pemenuhan motif hedonisme dan gratifikasi diri dari mengkonsumsi secara berbeda. Menggunakan metode
desk research, tulisan ini mengungkapkan bagaimana tiga
influencer minimalisme–C.S Lestari (@cslestari), Ode to Less (@odetoless), dan Allan Fadlansyah (@allanfadlansyah)–membingkai imaji minimalisme-nya melalui berbagai narasi dan konten yang dibagikan serta didukung oleh proses revisi estetika. Lalu, menggunakan teori hedonisme alternatif milik Soper, penelitian ini juga memperlihatkan bahwa
influencer tersebut adalah
affluent customers yang dapat melakukan eliminasi material serta konsumsi mewah sebagai praktik (anti-)konsumsi secara berbeda.
Minimalist lifestyle, at its core, is a manifestation of how individuals put meaning on their material over-consumption into action. By reducing the clutter of their lives, many of its followers claim that it increases their other life qualities while contributing to the environment. But, the popularization of minimalism into mainstream culture has presented us a paradox where its reproduction, especially in Instagram, only serves as anti-consumption aesthetic to fulfill the hedonistic motive and self-gratification of consuming differently. Drawing on data collected from a desk research method, this article analyzes how three minimalist influencers––C.S Lestari (@cslestari), Ode to Less (@odetoless), and Allan Fadlansyah (@allanfadlansyah) –frame their minimalism through shared narrative and content, supported by process of aesthetic revisioning. Then, using Soper’s alternative hedonism theory, this article shows how these influencers fit into the category of affluent customers with their abilities to eliminate material and consume affluently as their different mode of (anti-)consumption practice.