Film sebagai salah satu bentuk media telah dipelajari kekuatannya dalam menyampaikan gagasan tentang aspek sosial dan budaya. Film membantu membentuk dan memperkuat keyakinan budaya, sama seperti film mencerminkan kecemasan, keyakinan, dan nilai yang menghasilkannya. Penelitian ini berfokus pada bagaimana media menangkap pemberdayaan perempuan Indonesia dalam bentuk film Marlina Sang Pembunuh dalam Empat Babak. Disutradarai oleh Mouly Surya pada tahun 2017, film ini bercerita tentang seorang janda bernama Marlina yang tinggal sendirian di puncak bukit Sabana di Sumba, sebuah pulau di Indonesia timur. Dalam film tersebut, kisah Marlina dihadirkan dalam empat babak, yakni “Perampokan,” “Perjalanan,” “Pengakuan,” dan “Kelahiran.” Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan analisis film untuk mengetahui penerapan karakter film saat menghadapi pelecehan seksual. Analisis dilakukan terhadap adegan-adegan yang diargumentasikan untuk menggambarkan film untuk menggambarkan isu-isu sosial, pemberdayaan perempuan, teori kelompok yang diredam, dan patriarki dan pelecehan seksual. Penelitian ini memberikan kontribusi pada kajian yang lebih luas terhadap film-film Indonesia yang menggambarkan perspektif perempuan yang berada pada isu pemberdayaan perempuan, patriarki, pelecehan seksual dan victim blaming, dan Marlina sebagai perwakilan dari muted group.
Film as one form of media has been studied for its power in conveying notions on social and cultural aspects. Films help to shape and strengthen cultural beliefs, just as they reflect the anxieties, beliefs, and values that produce them. This research focuses on how media captures the empowerment of Indonesian women in a form of a movie titled Marlina the Murderer in Four Acts. Directed by Mouly Surya in 2017, the film tells the story of a widow named Marlina who lives alone at the top of the savanna hills on Sumba, an island in eastern Indonesia. In the movie, Marlina's story was presented in four chapters, namely “Robbery,” “Journey,” “Confession,” and “Birth.” This study used a qualitative method and film analysis to determine the application of the characters of the movie when faced with sexual harassment. Analysis is conducted on scenes that were argued to portray film to portray social issues, women empowerment, muted group theory, patriarchy, and sexual harassment. This research contributes to a wider study on Indonesian films that illustrate perspectives of women who are facing issues of women empowerment, patriarchy, sexual harassment, and victim-blaming, and Marlina as the representative of a muted group.