Transisi gizi yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, urbanisasi, dan pergeseran teknologi, menimbulkan masalah gizi ganda di negara-negara berkembang. Pada tingkat kabupaten/kota, masalah gizi ganda mungkin terjadi dengan adanya desentralisasi pembangunan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kabupaten/kota di Indonesia yang mengalami masalah gizi ganda (MGG) penduduk dewasa, serta menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan hal tersebut, yakni karakteristik sosial ekonomi dan pertanian serta pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik. Desain penelitian ini adalah studi ekologi dengan jumlah sampel 426 kabupaten/kota di Indonesia yang memenuhi kriteria inklusi. Variabel dependen dari penelitian ini adalah masalah gizi ganda di kabupaten/kota, sementara variabel independen dari penelitian ini adalah kepadatan penduduk, kemiskinan, ketimpangan, pendidikan, transformasi pertanian, aktivitas fisik, asupan energi, asupan protein, keragaman konsumsi pangan, dan konsumsi makanan berisiko. Data penelitian dikumpulkan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat nasional dan provinsi. Analisis yang dilakukan adalah analisis spasial, analisis univariat, analisis bivariat berupa uji kai kuadrat, dan analisis multivariat berupa uji regresi logistik. Terdapat 455 kabupaten/kota (86.6%) di Indonesia yang mengalami MGG penduduk dewasa. Faktor-faktor yang secara simultan berhubungan dengan MGG penduduk dewasa pada kabupaten/kota adalah kepadatan penduduk, kemiskinan, ketimpangan, pendidikan, dan konsumsi makanan berisiko. Kabupaten/kota dengan tingkat konsumsi makanan berisiko yang tinggi, berisiko mengalami MGG penduduk dewasa sebesar 4,5 kali lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota dengan tingkat konsumsi makanan berisiko yang rendah setelah dikontrol oleh variabel kepadatan penduduk, kemiskinan, ketimpangan, pendidikan, aktivitas fisik, dan asupan protein (OR: 4,556; 95% CI: 2,147 – 9,665; p <0,0005). Kabupaten/kota dengan tingkat pendidikan yang tinggi, berisiko 64,4 kali lebih rendah untuk mengalami MGG penduduk dewasa dibandingkan kabupaten/kota dengan tingkat pendidikan yang rendah setelah dikontrol oleh variabel kepadatan penduduk, kemiskinan, ketimpangan, aktivitas fisik, asupan protein, dan konsumsi makanan berisiko (OR: 0,356; 95% CI; 0,158-0,801; p <0,05). Adanya pendidikan sebagai faktor protektif, padahal sebagian besar tingkat pendidikan sampel kabupaten/kota adalah rendah, mengarah pada dugaan bahwa kejadian gizi ganda penduduk dewasa disumbang oleh golongan masyarakat kelas bawah.
The nutrition transition due to economic growth, industrialization, urbanization, and technological shifts, has caused double burden malnutrition in developing countries. At the regency/city level, double burden malnutrition may occur due to decentralized development. This study aims to identify regencies/cities in Indonesia with adult double burden malnutrition (DBM) as well as analyzing the factors associated with this phenomena, namely socioeconomic and agricultural characteristics, food consumption patterns, and physical activity. The design of this research is an ecological study with 426 districts/cities in Indonesia as a sample that meet the inclusion criteria. The dependent variable of this study is the incidence of adult double burden at the regency/city level, while the independent variables of this study are population density, poverty, inequality, education, agricultural transformation, physical activity, energy intake, protein intake, diversity of food consumption, and consumption of risky foods. The data was collected from the National Institute of Health Research and Development (Balitbangkes) - Ministry of Health, the Food Security Agency (BKP) - Ministry of Agriculture, the Statistics Indonesia (BPS) both national and provincial levels. The data was analyzed by spatial analysis, univariate analysis, bivariate analysis in the form of Chi-square test, and multivariate analysis in the form of logistic regression test. There are 455 regencies/cities (86.6%) in Indonesia with adult double burden malnutrition. Factors that are simultaneously associated with the incidence of adult double burden malnutrition in regencies/cities are population density, poverty, inequality, education, and risky foods consumption. Regencies/cities with high level of risky food consumption had 4.5 times higher risk of adult double burden malnutrition than regencies/cities with low level of risky food consumption after being controlled by population density, poverty, education, physical activity, and protein intake (OR: 4,556; 95% CI: 2,147 – 9,665; p <0,0005). Regencies /cities with high levels of education had a 64.4 times lower risk of adult double burden malnutrition than regencies/cities with low levels of education after being controlled by population density, poverty, inequality, physical activity, protein intake, and risky food consumption (OR: 0.356; 95% CI; 0.158-0.801; p <0,05). The existence of education as a protective factor, even though most of the education levels in the sample regencies/cities are low, leads to the presumption that the incidence of adult double burden malnutrition is contributed by the lower class of society.