Buku ini merupakan buku ke 2, berisi 44 esai Sobron Aidit mengenai kehidupan pribadi dan keluarganya di ?pengasingan?. Bagi banyak orang yang mengetahui nama Áidit?dan perannya di kancah perpolitikan Indonesia, akan dengan mudah mencerna memoar ini karena sebagian besar isinya menggambarkan kehidupan keluarga Aidit pasca G 30 S PKI. Keterlibatan Aidit dalam peristiwa bersejarah itu telah menyebabkan keluarganya harus memilih negara lain sebagai ?kampung halaman? kedua. Keluarga tercerai di beberapa negara, bahkan harus berpindah-pindah. Sobron Aidit sendiri memilih Paris sebagai negeri persinggahannya, sementara saudaranya yang lain dan anak-anaknya lebih suka tinggal di Holland. Kehidupan Sobron akhirnya berpusat di dua kota itu, dan itulah yang diceritakannya di buku ini.
Terlepas dari pilihan politik keluarga Aidit, buku ini memberi pemahaman betapa sulitnya hidup dengan label ?aliran kiri?. Betapa susahnya pulang ke kampung sendiri akibat pilihan politik yang pernah ditempuh salah seorang anggota keluarga. Penolakan tidak hanya dari pemerintah tapi juga dari orang-orang yang tidak dikenal sama sekali. Bahkan tahu sejarahpun nggak. Penolakan juga tidak hanya bagi Aidit, tapi juga seluruh anggota keluarga. Betapapun demikian, Sobron tetaplah cinta pada Indonesia. Tetap rindu pada kampung halamannya, Belitong. Tetap doyan masakan khas daerah, dan akan tetap ingin kembali ke negeri tercinta. Entah kapan...
Bagi saya, yang pertama menarik dari buku ini adalah judulnya. Pemilihan kalimat ?Surat Kepada Tuhan?, menggoda kita untuk membaca, walaupun setelah membacanya kita baru tahu bahwa judul itu sebetulnya judul sajak yang pernah ditulis Sobron dan dipublish di internet. Tapi kalau mau dipaksakan juga, isinya boleh jadi memang curhat penulis kepada Tuhan mengenai kehidupannya.
Tak kalah memikat adalah kehidupan Sobron sebagai pendatang di Paris. Ngiri betul, betapa orang pendatang saja bisa begitu terjamin kehidupannya di negeri orang. Menikmati masa pensiun dengan nyaman serta fasilitas gratis dari pemerintah sebagai imbalan kedisiplinan membayar pajak selama masa produktif. Bisa bolak-balik Paris-Holland setiap bulan hanya dengan bekerja di restoran dua kali seminggu. Lewat buku ini juga kita boleh mengetahui betapa ngototnya para petugas pajak di Belanda melaksanakan tugas sehingga pajak tersebut akhirnya bisa dinikmati rakyat banyak dalam bentuk fasilitas yang nyaman.
Hal terakhir yang mengundang perenungan kita adalah tentang cap ?anti Tuhan? dan ?anti agama? yang pernah dilekatkan masyarakat pada mereka, sementara garis politik yang dipilih Aidit sama sekali bukan mengenai agama.
Di buku ini tertulis Jajang C. Noor sebagai editor, membuat saya sempat berharap bakal menikmati untaian kalimat yang menarik. Sedikit kecewa sih, tapi bagi yang ingin belajar bagaimana menulis essay dengan topik yang ringan-ringan, buku ini boleh jadi acuan.
Kalau mau yang lebih berat, baca ?Catatan Pinggir? nya Goenawan Mohamad yang keren itu. Dijamin berat ....:)
------------------------------
Risensi oleh: Kalarensi Naibaho