Studi ini memfokuskan diri pada remaja. Dalam era ekonomi kapitalistik, remaja dengan status sosial ekonomi tinggi adalah segmen pasar penting. Di satu sisi, mereka akan menempati posisi strategis di masyarakat. Di sisi lain, remaja elite kota besar merupakan pasar potensial bagi banyak barang konsumen, sehingga cenderung dirangsang untuk konsumtif. Dalam hal ini, hendak dilihat bagaimana remaja mengalami sosialisasi nilai melalui media yang dekat dengan mereka, yakni majalah remaja. Peneliti mengambil majalah remaja terbesar, Gadis, sebagai objek penelitian.
Gadis diperkirakan membangun gagasan konsumerisme karena sejumlah hal. Sebagai majalah yang tumbuh pesat secara bisnis, Gadis berhubungan erat dengan kapitalisme global yang membutuhkan konsumen untuk menyerap barang konsumen produksi mereka. Media ini akan turut memfasilitasi proses penerimaan terhadap produk produk tersebut serta gaya hidup yang mendukungnya melalui pembentukan gagasan "menjadi konsumen yang seharusnya" di mata kaum muda.
Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan: (1) bagaimana Gadis membangun gagasan tentang konsumerisme bagi khalayaknya? dan (2) landasan ideologis bagaimana yang melatarbelakangi Gadis dalam memproduksi gagasan tersebut? Penemuan tentang kandungan nilai-nilai konsumerisme serta konteks ideologis yang menyertainya dilakukan melalui analisis wacana kritis Fairdough. Untuk analisis teks digunakan analisis framing dengan konsep Gamson dan Modigliani.
Penelitian dilakukan terhadap 16 nomor Gadis edisi 2000, tahun yang mewakili periode 1990-an, saat gagasan perdagangan bebas sudah lebih diterima. Diduga, pada era tersebut, promosi konsumerisme lebih meningkat dibanding waktu sebelumnya.
Dari analisis teks terlihat bahwa Gadis mempromosikan gagasan konsumerisme. Majalah ini membangun bingkai-bingkai seperti "belanja", "idola", "materi sebagai ukuran", "instant", dan "koleksi barang", yang semuanya menggambarkan karakterislik budaya konsumer.
Majalah Gadis lahir dari perusahaan media besar dan sejak kelahirannya selalu menjadi majalah remaja terbesar (dan segi brand, readership, dan serapan ikian). Gaya penyajiannya khas remaja masa kini, menampilkan keceriaan, banyak menggunakan bahasa Inggris serta menampilkan budaya populer Barat kesukaan remaja (khususnya film dan musik). Karena ditujukan bagi remaja putri, muatannya juga banyak mengulas masalah mode, kecantikan, dan perawatan tubuh.
Watak Gadis yang telah menjadi industri bertemu dengan lingkungan tempat majalah ini dan pembacanya tumbuh. Gadis dan pembacanya hidup dalam konteks sosial-ekonomi yang makin kapitalistik dan liberal. Ideologi ini menjadikan tumbuhnya budaya konsumtif dalam masyarakat, budaya yang justru dikembangkan dan dipelihara oleb pemerintah, karena gaya hidup ini menyuburkan watak bisnis dalam sistem ekonomi yang makin liberal dan pragmatis sejak akhir tahun 1980-an.
Dengan mempromosikan konsumerisme, Gadis menjadikan remaja pembacanya masuk dalam kondisi yang digambarkan Alan Wells sebagai `konsumerisme parasibk'. Kaum remaja ini "dididik" untuk berpartisipasi dalam `budaya konsumsi' ala negara maju. Dalam hal ini, Gadis mempromosikan gaya hidup elite yang hanya meniru gaya konsumsi negara maju, tanpa mengadopsi sistem nilai yang mendasari konsumerisme itu yang sebenarya mengagungkan nilai-nilai kewiraswastaan.
Gadis menjalankan peran sebagai bridgehead (jembatan) yang menjalin semacam "kerja-sama" antara elite negara maju dan elite negara berkembang (yakni remaja pembacanya). Gadis menyajikan apa yang menjadi simbol budaya di Barat. "Kedekatan terhadap Barat" yang diciptakan Gadis, meminjam analisis Galtung, membuat elite Pinggiran (pembaca, remaja kelas menengah ke atas) merasa sejajar dengan kaum elite di negara maju dalam komunitas elite dunia.