Tesis ini merupakan penelitian kualitatif yang mengkaji pengalaman-pengalaman para anggota keluarga beda agama dalam menghadapi dan menyelesaikan konflik interpersonal diantara mereka. ini menggunakan paradigma konstruktivism dan metodel strategi fenomenologi. dengan harapan pengalaman-pengalaman interaksi dan situasi konflik para informan dapat diperoleh sesuai pola pikir dan pemahaman mereka sendiri. Tujuan penelitian adalah memberikan gambaran kecenderungan tingkat nilai-nilai individualistik-kolektivistik, penghindaran ketidakpastian, jarak kekuasaan, dan maskulinitas-feminitas mereka yang terlibat konflik. Sesuai dengan sifat dan strateginya, data penelitian ini diperoleh dari tujuh pasangan informan dari keluarga beda agama yang berlokasi di seputar Jabotabek, dengan cara wawancara inerdalam (in depth interview).
Dalam pembahasannva. penelitian ini menggunakan analisis tahapan (phases analyses), dimana pengalaman konflik dianalisa dalam enam tahap: tahap kondisi awal, tahap kesadaran dan frustrasi, tahap konflik aktif, tahap solusi/nonsolusi, tahap tindak lanjut, dan tahap konflik terselesaikan. Setelah pengalaman-pengalaman konflik para informan ditahapkan, kemudian penulis menganalisanya dengan menggunakan pendekatan 1 perspektif variabilatas budaya dalam analisisnya yang meliputi empat dimensi: individualism-collectivism, power distance, uncertaintv avoidance, dan masculinity-femininity.
Dari hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa perbedaan agama dan adanya nilai-nilai budaya kolektivistik (collectivism) yang dianut oleh keluarga menjadi kondisikondisi awal bagi kemunculan konflik dalam keluarga. Secara umum, situasi dan perilaku konflik yang terjadi dalam keluarga beda agama, tidak bisa dilepaskan dari integritas dan loyalitas para anggota keluarga tersebut terhadap kepentingan, tujuan, keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh suatu kelompok, dimana keluarga tersebut menjadi anggota atau mengidentikkan diri dengannya.
Memilih pasangan hidup yang berlainan agama atau pindah agama yang dilakukan anak merupakan perilaku menyimpang yang menimbulkan ketidakpastian dalam sistem keluarga Sehingga keluarga tidak bisa mentolerirnya. tentunya dengan pertimbangan dan ukuran norma dan kebenaran absolut. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa keluarga, dimana konflik terjadi, cenderung memiliki tingkat penghindaran ketidakpastian yang tinggi (uncertainty avoidance).
Dalam penolakannya itu, mereka tidak jarang memaksakan keinginan dan menuntut kepatuhan dan anak-anaknya dengan menunjukkan kekuatan, kekuasaan dan kontrol. Sehingga tidak heran jika mereka dalam menghadapi konflik sering menggunakan gaya kompetitif yang lebih mementingkan diri sendiri dan mengorbankan orang lain. Sementara di pihak lain, anak sering berusaha agar hubungan baik dengan orang tua tetap terjaga. Sehingga mereka sering menggunakan gaya konflik akomodatif. Hal ini cerminan dari budaya jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi yang dianut keluarga.
Kondisi di atas sering menyebabkan pihak-pihak yang terlibat mempersepsikan konflik secara ekspresif dimana konflik hanya menjadi pelepas ketegangan yang berasal dari rasa kebencian dan permusuhan. Mereka tidak bisa memisahkan permasalahan dengan orangnya. Konflik jarang diselesaikan langsung pada permasalahan. Sehingga situasi dan perilaku konflik sarat dengan pesan-pesan nonverbal yang penuh ambiguitas. Hal ini sebagai wujud dari pola komunikasi konteks tinggi yang mereka pergunakan. Serta hasil temuan lapangan juga menunjukkan adanya beberapa indikasi yang mencerminkan kecenderungan budaya maskulinitas dalam keluarga.