Kekerasan politik pada pemilu 1997 di Pekalongan disebabkan oleh adanya disempowerment dari penguasa kepada masyarakat yang berbeda aliran politik. Hal itu dilakukan baik di bidang sosial, ekonomi, dan maupun bidang politik. Sedangkan penyebab kekerasan politik tahun 1999 adalah adanya perbedaan penafsiran antara masyarakat NU terhadap khittah NU yang dimulai tahun 1984. Pada pemilu 1997, kekerasan politik terjadi antara pendukung PPP dan pendukung Golkar. Pada pemilu 1999, kekerasan politik terjadi antara pendukung PPP dan pendukung PKB.
Ulama sebagai tokoh penutan tidak cukup efektif dalam penyelesaian kekerasan politik tersebut. Dalam kajian dengan masalah politik tersebut, Ulama di Pekalongan, dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang berpendapat bahwa kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, menurut mereka keterlibatan ulama dalam masalah politik sehari-hari adalah suatu keharusan. Kelompok ulama inilah yang kemudian secara langsung ikut terlibat dalam partai politik. Kedua, mereka juga berpendapat bahwa kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan, termasuk politik, tidak dapat dipisahkan. Hanya saja, mereka merasa tidak perlu melibatkan diri dalam politik praktis. Kelompok ulama ini, peduli pada masalah politik dan kenegaraan, tetapi tidak mau menjadi pendukung salah satu partai politik, secara terbuka. Ketiga, mereka yang tidak mau, dan tabu dengan urusan kehidupan politik. Mereka merasa kehidupan berpolitik bukan merupakan bidang urusan ulama. Kelompok ini membatasi kiprahnya hanya dalam masalah moral keagamaan. Mereka sengaja menghindari kehidupan politik, karena hal itu dianggap "terlalu dunia".
Dimana kelompok pertama tidak dapat berperan secara efektif, karena seringkali dicurigai oleh pihak lain yang berbeda aliran politiknya. Ulama kelompok kedua kurang efektif dan efisien dalam berperan menyelesaikan kekerasan politik, karena cara yang dilakukannya tidak secara langsung dan memakan waktu yang agak panjang. Sedangkan ulama kelompok ketiga tidak berperan, karena mereka dengan sengaja menghindari masalah politik dalam kehidupannya.
Dengan tidak berperannya ulama di Pekalongan dalam penyelesaian kekerasan politik, maka keadaan masyarakat menjadi mengambang. Mereka seakan kehilangan tokoh panutan yang mengarahkan kehidupan politiknya. Sebagian masyarakat menjadi apatis terhadap kehidupan politik. Sebagian yang lain terlalu bersemangat dalam kehidupan politik, tanpa memperhatikan hak politik warga lainnya. Akibatnya, mereka menjadi rawan dan rentan terhadap adanya perbedaan aliran politik.
Kondisi itu tentunya bisa menggangu ketahanan wilayah Pekalongan yang pada gilirannya akan mengganggu pula ketahanan nasional. Hal itu dikarenakan berbagai pihak, baik tokoh formal maupun informal, tidak menggunakan pendekatan "ketahanan nasional" secara jelas.
Kalangan ulama, misalnya, tidak begitu memperhatikan asas tannas yang melihat sesuatu secara komprehensif integral atau menyeluruh terpadu. Padahal asas ini bisa disamakan dengan apa yang dalam Islam disebut sebagai "kaffah". Masyarakat Pekalongan yang "agamis" tidak menyeluruh dalam mengamalkan ajaran agama yang mereka anut. Yang mereka lakukan adalah sesuatu yang lebih menguntungkan diri atau kelompoknya, sehingga masalah kekerasan politik di sana tidak dapat diselesaikan dengan tuntas.