Dunia perbankan di Indonesia mulai semarak setelah pemerintah melancarkan serangkaian kebijaksanaan deregulasi diantaranya yang sangat berpengaruh adalah paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (pakto 88). Hal ini sejalan dengan harapan oleh pemerintah yang bertujuan mengerahkan dana masyarakat dengan jalan membuka kesempatan untuk didirikannya bank-bank baru. Nampaknya usaha pemerintah ini berhasil terbukti dengan makin menjamurnya jumlah kantor bank maupun bank-bank baru.
Inilah perkembangan yang diharapkan, tetapi perkembangan baru ini juga dinikmati oleh orang-orang yang berniat jahat dengan jalan memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang ada. Hal ini bisa dilihat pada angka kejahatan di bidang perbankan yang dicatat dan ditangani polisi. Baik secara kuantitas dan kualitas meningkat. Meningkatnya kejahatan di bidang perbankan merupakan tantangan baru baik bagi aparat penegak hukum, lebih-lebih lagi para pengusaha bank. Betapa tidak karena bank sebagai perusahaan jasa yang mengandalkan serta menggantungkan kepercayaan masyarakat (nasabah), maka jaminan terhadap keamanannya sangat penting.
Dari seluruh kasus yang pernah terjadi kejahatan yang dilakukan oleh oknum pejabat atau pimpinan pada umumnya menimbulkan kerugian yang tinggi, coritohnya adalah kasus Bank Perkembangan Asia (BPA), Bank Duta dan Bank Umum Majapahit Jaya (BUMJ). Kasus PT. BAR bermula pada perbuatan yang dilakukan oleh komisaris, Direktur Kredit, Direktur Operasional yang menyebabkan PT. BAR dilikuidasi oleh Menteri keuangan Tanggal 1 Nopember 1997 sehingga esoknya bank inidinyatakan ditutup. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ada berbagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh- pimpinan PT. BAR dan dibantu teman-temannya. Modus operandi kejahatan yang dilakukan adalah memberikan kredit memberikan batas yang telah ditentukan. Oleh Undang-undang Perbankan yaitu 10% dari modal bank kepada debitur terkait dan 24% dari modal bank untuk debitur tidak terkait.
Tindak kejahatan yang dilakukan oleh HENRY LIEM dkk. ini tergolong white collar crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang berstatus sosial tinggi dalam lingkup jabatannya. White collar crime merupakan kejahatan berdimensi baru dalam arti berbeda dengan kejahatan tradisional. Perbedaan tersebut misalnya dalam hal modus operandi, pelaku, tiadanya penggunaan kekerasan, aspek kerugian dan lainnya yang pada intinya lebih merugikan dan canggih dari pada kejahatan tradisional (perampokan, pencurian, penodongan dan sebaginya). White Collar Crime dalam perbankan seringkali sulit dibuktikan dan kalu terbukti membutuhkan waktu relatif lama, karena dilakukan dalam tugas operasional sehari-hari.
Di dalam kasus PT BAR kerugian yang ditimbulkan adalah sebesar Rp 110.660.000.000,- Dilihat dari modus operandinya kasus ini dengan melebihi Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang telah melebihi modal disetor pemilik bank tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriminatif analisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu suatu pendekatan yang berusaha merinci suatu fenomena secara mendalam melalui wawancara dengan nara sumber dan meneliti Berita Acara Pemeriksaan.
Penelitian ini ditandai oleh suatu usaha menggambarkan kenyataan atau kasus empiric, informasi-informasi yang didapat baik melalui studi kepustakaan, studi lapangan dan wawancara terhadap nara sumber yang kemudian data-data tersebut diolah sehingga dapat menjawab permasalahan.