Presiden Soeharto membangun imperium kekuasaan politik yang dipraktikan secara otoriter dan totaliter. Sistem politik yang dibangun dalam paradigma homogenitas dan oligarkis dengan jaringan patronase, menjadikan monolitik dan mandul, sebagai akibatnya adalah tidak ada kekuatan pengontrol yang efektif sehingga menjauh dari proses-proses yang demokratis, adil dan tegaknya hukum. Akibatnya pelaksanaan kebijakan terjadi distorsi dan deviasi yang menimbulkan masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan Dwifungsi ABRI. Badai krisis moneter dan ekonomi menambah beban rakyat sehingga memicu gerakan perlawanan terutama dari mahasiswa yang menuntut reformasi total segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, menjelaskan dan menganalisa perlawanan politik dengan menjawab mengapa, siapa dan bagaimana kecenderungan resistensi terhadap Soeharto dan konflik elit Golkar yang mengakibatkan Soeharto berhenti sebagai Presiden RI. Untuk itu data dikumpulkan lewat wawancara, buku, surat kabar, dan dokumen yang relevan dan kemudian dianalisis hingga memperoleh data dan informasi yang valid mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi Soeharto berhenti sebagai Presiden RI. Kerangka pemikiran yang melandasi tesis ini yaitu otoriter dan totaliter, Kuntowijoyo, Charles F. Andrain, Franz Magnis Suseno, legitimasi Ramlan Surbakti, Habermas, transisi ke arah demokrasi Huntington, perlawanan politik Mullin, Genovesse, Scott, kelompok kepentingan Gabriel A. Almond, suksesi Peter Calvert. Elit politik Robert D. Putnam, C. Wright Mills, konflik elit Kartini Kartono, Maurice Duverger, Lewis A. Cocer, Paul Conn.
Masyarakat bertekad menuntut perubahan tidak terlepas dari isu global mengenai demokratisasi, lingkungan hidup, hak asasi manusia, pasar babas dan tegaknya hukum. Sebaliknya penguasa menerapkan sistem politik yang telah usang dalam perilaku defesif dan konservatif, sehingga semakin membuat jarak kepentingan yang tajam antara penguasa dengan rakyatnya. Akibatnya semakin mempertinggi krisis kepercayaan rakyat terhadap penguasa hingga memperkuat tekad untuk melengserkan Soeharto dari kursi presiden.
Gelombang reformasi yang tinggi menimbulkan suasana darurat politik dan memicu terjadinya konflik elit politik Golkar dalam menyikapi gerakan reformasi yang menuntut Soeharto mundur. Akhirnya, Soeharto sadar tidak lagi didukung rakyat dan para elit politik pemegang kekuasaan, sehingga is mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Tampaknya berlaku pemikiran Huntington mengenai prahara gelombang reformasi mengakibatkan tumbangnya (collaps) kekuasaan Soeharto, dan Surbakti mengenai tidak bekerjanya institusionalisasi politik yang tepat, sehingga pandangan Peter Calvert menjadi relevan karena terjadi peralihan kekuasaan yang tidak beraturan (irregular) dan menjadi preseden buruk bagi peta sejarah politik Indonesia.