Permasalahan perbankan berawal dari deregulasi perbankan pada tahun 1988. Persoalan yang menggunung menyebabkan pemerintah melakukan berbagai terobosan perbaikan dimana salah satunya adalah melakukan merger. Merger Bank BUMN yang telah efektif pada awal Agustus 1999 mengandung makna politis yang sangat substantif yang memberi dampak pada ketidakpastian yang cenderung semakin tinggi. Namun terlepas dari persoalan tersebut, sumber masalahnya adalah pada perilaku komunikasi yang diterapkan secara sentralistik dan searah yang berakibat macetnya saluran komunikasi formal dan iklim komunikasi organisasi yang tidak kondusif. Masalah yang kurang disadari oleh para pengelola bank tersebut, menyebabkan aliran informasi kebijakan merger berpengaruh pada pola hubungan komunikasi atasan-bawahan.
Penelitian ini dilakukan di salah satu dari empat bank BUMN yang merger yaitu PT Bank Pembangunan Indonesia (Persero). Dengan populasi karyawan Bapindo ditarik sampel yang menjadi responden sebanyak seratus orang yang terdiri dari Pimpinan Urusan/Biro/Desk, Kepala Bagian dan Kepala Sub Bagian, Kepala Tim dan Anggota Tim di empat satuan Unit Kerja yaitu Urusan Sumber Daya Manusia, Urusan Umum & Pengadaan, Urusan Kredit Besar, serta Biro Direksi dan Hukum. Unit analisis yaitu masing-masing atasan-bawahan (monadic) dengan menggunakan cara stratified random sampel.
Dalam konteks hubungan tersebut, penulis hendak melihat hubungan persona atasan-bawahan dengan komunikasi atasan-bawahan, variabel pola interaksi atasan-bawahan dengan komunikasi atasan-bawahan, variabel keterbukaan komunikasi dengan komunikasi atasan-bawahan, variabel persepsi tentang atasan efektif dengan komunikasi atasan-bawahan, variabel penyampaian pesan dengan komunikasi atasan-bawahan.
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian eksplanatif. Penelitian ini bersifat deskriptif dan studi dilakukan secara kuantitatif. Cara pengumpulan data terutama dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada responden yang ditentukan secara stratified random sampling. Uji korelasi pada penelitian ini mempergunakan aplikasi statistik yaitu Spearman Correlation. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variable. Dimana di dalam menganalisa data ini digunakan dua bentuk data yaitu tabel distribusi silang dan frekuensi.
Berdasarkan data sosio-demografis dan perhitungan secara statistik, diperoleh hasil bahwa dalam Pola Hubungan Komunikasi Atasan-Bawahan terdapat hubungan yang sangat lemah antara Jabatan responden dengan Cara atau Metode Komunikasi Yang Dipakai : Keseriusan Atasan di dalam mendengar keluhan bawahan ; Bentuk Informasi Merger ; Kepuasan Terhadap Informasi Yang Dibutuhkan.
Terdapat hubungan yang sangat kuat antara Unit Kerja responder dengan Cara Yang Dipakai. Terdapat hubungan yang sangat lemah antara Unit Kerja responden dengan Atasan yang serius mendengarkan keluhan bawahannya ; Bentuk Informasi Merger ; Kepuasan Kebutuhan Informasi. Terdapat hubungan yang sangat lemah antara Lama Bekerja responden dengan Cara atau Metode Komunikasi yang dipakai ; Atasan Serius Mendengarkan Keluhan Bawahan ; Bentuk Informasi Merger ; Kepuasan Kebutuhan informasi Merger. Terdapat hubungan yang cukup kuat antara Frekuensi Komunikasi Atasan-Bawahan dengan Kepuasan Kebutuhan Informasi. Terdapat hubungan yang sedang antara Lebih Banyak Membujuk dengan Kepuasan Kebutuhan Informasi. Terdapat hubungan yang sangat lemah antara faktor keterbukaan komunikasi dengan tingkat kepuasan. Terdapat hubungan yang sangat lemah antara tingkat partisipasi dengan tingkat kepuasan komunikasi.
Menunjuk hal-hal di atas diperoleh fakta bahwa dalam Pola Hubungan Komunikasi Atasan-Bawahan, aliran informasi pada saluran komunikasi organisasi tidak menggunakan cara-cara yang efektif baik lisan maupun tulisan sehingga karyawan lebih banyak memperoleh informasi melalui saluran komunikasi formal. Karyawan Bapindo menyadari adanya sistem informasi yang tidak resmi, dimana mereka sangat menggantungkan diri pada sistem ini sebagai suatu cara untuk mendapat akses yang cepat, karena mekanisme komunikasi yang resmi (rapat, pesan tertulis dan sebagainya) lebih lamban dan lebih sering menghasilkan penyebaran yang tidak lengkap.
Komunikasi formal yang tadinya diharapkan dapat memberikan kesempatan berlangsungnya komunikasi ke atas, ke bawah, horizontal dan lintas saluran yang terus terang, cermat dan sensitif temyata tidak optimal. Secara teori, pengukuran kualitas keakraban karyawan atau responden lebih ditekankan pada pengakuan verbal karyawan. Oleh karena itu penelitian ini menjadi terbatas karena tidak bisa menjawab instrumen ini.
Implikasi secara praktikal, dalam rangka meningkatkan efektifitas komunikasi organisasi perlu melakukan penilaian yang menyeluruh dan sistematik, oleh karena itu sudah selayaknya dibentuk unit kerja khusus yang menangani masalah dan pemecahan komunikasi organisasi dan berfungsi sebagai Integrator yang bekerja secara independen dan dapat menjembatani elemen-elemen yang ada dalam organisasi baik secara internal maupun eksternal.