Luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan permukaan bumi, akan tetapi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat tinggi, meliputi 1I% spesies tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia dan 16% spesies burung.
Sekitar 17.000 pulau di Indonesia terbentang antara kawasan Indomalaya dan Australia. Kepulauan Indonesia memiliki tujuh kawasan biogeografi utama dengan tingginya tingkat keanekaragaman tipe-tipe habitat yang ada. Banyak pulau yang terisolasi selama ribuan tahun, sehingga memiliki tingkat endemik yang tinggi (FWI/GFW, 2001).
Untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang ada, diperlukan upaya konservasi yang merupakan salah satu bagian penting pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Keanekaragaman Hayati, dinyatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dilaksanakan oleh Pemerintah. Pengelolaan kawasan konservasi ini dirasakan tidak efektif mengingat belum ada kawasan konservasi yang berhasil menggabungkan prinsip konservasi dan ekonomi yang bukan saja menjaga keanekaragaman hayati tapi juga peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan dan memberikan pemasukan bagi negara. Kegagalan ini disebabkan oleh kurangnya SDM, minimnya dana dan teknologi.
Pada tahun 1995, Pemerintah RI memberikan hak pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kepada Yayasan Leuser Internasional (YLI) dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995. Pelimpahan pengelolaan meliputi kawasan seluas 1.790.000 hektar yang terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser (905.000 ha), Hutan Lindung (505.000 ha) dan Hutan Produksi (380.000 ha), yang keseluruhannya di DI. Aceh (80%), (sekarang Nanggroe Aceh Darusalam) dan 20% di Propinsi Sumatera Utara. Surat Keputusan ini kemudian dicabut dengan ditetapkannya Keppres No. 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dalam pengelolaan KEL ini, pemerintah menjalin kerjasama pengelolaan dengan Yayasan Leuser Internasional (YLI) selama 30 tahun. Pemerintah juga bekerjasama dengan Uni Eropa dalam pendanaan dan pengelolaan dengan membentuk Unit Managemen Leuser (UML) sebagai lembaga operasional pengelolaan kawasan untuk mernpersiapkan saran dan prasarana menuju pengelolaan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
Keberadaan UML sebagaimana diatur dalam financial Memorandum (FM) antara Indonesia dan Uni Eropa yaitu sebagai penerima mandat operasional pengelolaan KEL. Tim operasional pengelolaan tersebut terdiri dari ahli-ahli konservasi dan kehutanan Uni Eropa dan Indonesia yang mempunyai masa kerja selama tujuh tahun pada tahap I, dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan pengelolaan serta menjalankan Program Pengelolaan Leuser (PPL) yang teiah ditetapkan oleh Leuser Steering Committe (LSC). Kerjasama ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan konservasi di wilayah ekosistem Leuser dan merupakan transfer ilmu dan teknologi bagi pengelola kawasan tersebut di masa yang akan datang.
Penetapan KEL ini merupakan paradigma baru dalam pemberian ataupun menjalin kerjasama pengelolaan pada sebuah yayasan. Selama ini hak konsesi hanya diberikan berupa HPH yang mengekploitasi hasil hutan bukan untuk keperluan konservasi. Manajemen pengelolaan kawasan yang tercantum dalam FM antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa tersebut menggabungkan antara kepentingan konservasi sumberdaya alam hayati dengan peningkatan nilai ekonomi kawasan yang berpegang pada prinsip penyerapan aspirasi masyarakat (bottom up) (Masterplan, I995). Melalui prinsip pengelolaan dirnaksud diharapkan konservasi dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan pemerintah baik dari segi ekonomi maupun kelestarian kawasan.
Kawasan ekosistem Leuser juga terdiri dari beberapa kawasan pelestarian alam yang ditetapkan sebelumnya seperti Taman Nasional Gunung Leaser (TNGL), Suaka Margasatwa, Cagar Alam dan Hutan Produksi dan sesuai dengan namanya, kawasan ini merupakan gabungan dari sistem alami satu sama lain yang merupakan keterkaitan erat yang membentuk bentang alam yang sangat luas serta sangat penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kawasan ini mencakup berbagai tipe ekosistem, mulai dari ekosistem pantai, rawa, danau, dataran rendah dan dataran tinggi hingga pegunungan dengan ketinggian 3.500 m dari permukaan laut.
Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat kebijakan dan peraturan pemerintah dalam pengelolaan dan bentuk kerjasama pengelolaan kawasan konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) serta pengaruh pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan KEL tersebut.
Penelitian ini diharapkan akan sangat membantu dalam upaya pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di masa akan datang, khususnya dalam upaya pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Di samping itu, melalui penelitian ini nantinya diharapkan menjadi masukan bagi pengelolaan kawasan konservasi lainnya sehingga dapat menjamin pelestarian sumberdaya alam yang ada dengan tanpa mengenyampingkan aspek pemanfaatan sumberdaya alam yang dengan sendirinya akan dapat memberdayakan masyarakat sekitar kawasan konservasi pada khususnya, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Kebijakan dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan KEL masih belum mendukung ke arah pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat sebab Keppres No. 33 Tahun 1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser belum mengakomodir kepentingan para pihak yang terkait dalam pengelolaan kawasan terutama hak-hak masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada hutan dan peraturan ini masih bemuansa sentralistik dalam menetapkan kerja sama pengelolaan. Dengan menggunakan analisis SWOT untuk mengkaji fait-or-War internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja UML dalam menjaiankan PPL maka ditetapkan beberapa skala prioritas yaitu mengupayakan perbaikan sikap mental masyarakat yang tidak mendukung pengelolaan dan mewujudkan penegakan hukum yang tegas dan menjamin kepastian hukum serta mewujudkan struktur organisasi yang kuat dengan peningkatan kerja sama para pihak terkait dan meningkatkan kemampuan SDM untuk merebut pasar global di bidang ekowisata. Sehingga bentuk kerjasama pengelolaan kawasan konservasi di KEL yang mendukung ke arah tujuan peruntukan kawasan adalah Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.
Konsep pengelolaan ini menerapkan mekanisme yang transparansi, partispasi dan akuntabilitas publik sebagai langkah membangun "good governance" dan pelaksanan "rule of law", yang memperkuat dan mengakui hak kelola masyarakat adat, pendanaan jangka panjang, serta memperkuat desentralisasi fiskal daerah dalam pengelolaan Leuser. Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan peluang bagi penyerapan aspirasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di wilayahnya, sesuai dengan kebutuhannya dengan penetapan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Walaupun dalam UUPD ini pengelolaan kawasan konservasi masih berada di bawah pengelolaan Pemerintah Pusat, dalam haI ini Dirjen PHKA-Depatemen Kehutanan, tetapi diharapkan dengan manajemen pengelolaan bersama KEL ini kepentingan pemerintah, baik itu Pemerintah Pusat maupun Daerah, serta pihak swasta, LSM dan masyarakat adat disekitar kawasan akan terwakili.
Daftar Kepustakaan : 37 buku (tahun 1986-2001)
Indonesia's land surface is only 1.3% of the total earth's Land surface, but it has a vast diversity of nature. In this land surface alone, there are 11% of the world's total plants species, 10% of the total mammal's species and 16% of the total bird's species. There are around 17,000 islands in the Indonesian archipelago stretching from the Indomalayan to the Austrasia. The archipelago has seven main biogeography areas; with each one of them has a highly varied types of habitat. Many of these islands have been isolated for thousands of years; thus they have a high endemic level. Three main locations that have always been known to have a vast variety of species are the Papua, with its high level of species variety and they are highly endemic. There's also Kalimantan, which also has a high level of species variety but they are moderately endemic, and Sulawesi, that has moderate Ievel of species variety but highly endemic (FWI/GFW, 2001).To sustain the variety of species, a conservation act has to be done. This act is also an important part of the sustainable development. According to the UU No.5, which is issued in the year 1990, about nature's conservation and diversity of nature, it is stated that the government should manage the conservation areas. So far, the management of these conservation areas is considered ineffective, considering that there's still no conservation area, which is successfully combined the principal of conservation and economics. The idea is not only keeping the species variety alive but also enhancing the welfare of the people that live in the surrounding area and also contributing to the country's income. This flaw is due to the lack of human resources, funding and technology.In the year 1995, the Indonesian government gave the right to manage the Leuser Ecosystem Area (KEL) to The Leuser International Foundation (YLI) by issuing a mandatory letter by the minister of forestry, No.227/Kpts-II/1995. The right covering the area of 1,790,000 hectares, which consists of The Leuser National Park (905,000 hectares), conservatory forest (505,000 hectares) and productive forest (380,000 hectares). Most of the area, 80%, is located in The Province of Nangroe Aceh Darusalam and 20 % of it, is located in The Province of North Sumatra. This mandatory letter is then withdrawn and replaced by Keppres No.33 tahun 1999, about The Leuser Ecosystem Area (KEL) management. Through this management system the government is working together with The Leuser International Foundation in managing the area for 30 years. The government is also cooperating with The European Union in the matter of funding and forming The Leuser Management Unit (UML). This unit will act as the operating area manager and has to prepare all that is needed towards a sustainable and people-based management.The unit as stated in The Financial Memorandum (FM) between Indonesia and The European Union, will receive the mandate to manage The KEL. This operational management team consists of experts in conservation and forestry from Indonesia and The European Union. They will have a seven-year working period for the first phase, and can be extended to cater to the need of keeping The Leuser Management Program running. This program is made by The Leuser Steering Committee (LSC). This cooperation is hoped to be able to solve problems found in conserving The Leuser ecosystem and also provides the transfer of knowledge and technology to the next management team.The management of KEL is a new paradigm in giving the right or cooperating to manage a conservation area to/with a foundation. In the past, the concession right has always been given in the form of HPH, which in the end is only giving them the right to exploit and not conserving the forest. The area management as stated in The FM, which is mentioned earlier, is combining the need to conserve the natural resources with the need to raise the economic value of the area, which is based on the bottom up principal. This way of managing the area is expected to be useful to the people who live in the surrounding area and also the government in both the economic aspect as well as in the conservation aspects. The Leuser Ecosystem Area is consists of several natural reservation area that has already been setup. These areas are The Mountain Leuser National Park (TNGL), zoological reservation area, botanical reservation area and productive forest. The areas are naturally intertwined, where each component is closely connected to form a vast natural community, which is very important for the life of human beings and other living creatures. This area has various types of ecosystem, varying from shore, swamp, lake, lower plain, highland and also mountain that can reach up to 3,500 m from the sea surface.This research is done to review decisions and Laws that the government has made in managing and cooperating in the act of conserving the KEL, also to see the impact in implementing the UU No.22 Tahun 1999, about the role of the Local government in managing the KEL. This research is expected to be helpful in the act of conserving the Leuser Ecosystem Area, especially in trying to implement a sustainable and people-based conservation. This research is also expected to be able to provide inputs for other conservation areas. In the end, the conservation of natural resources can be done without setting aside the usage of those natural resources that can be useful for the people that live in the surrounding area and the people of Indonesia as a whole.Decisions and laws that have been made in managing KEL so far have not been supporting the sustainable and people-based conservation, which is the ultimate goal of the conservation act. This is due to the fact that Keppres No.33 Tahun 1998, about The Lauser Ecosystem Area, has not been able to accommodate the interest of related parties, especially the right of the local people, which are very dependent to the forest. The Laws is also very centralistic in making decisions in making the cooperation agreement. Using the SWOT analysis enable us to evaluate both internal and external factors that are affecting the work of UML in implementing the PPL. Priorities then can be set, first of all is to change the mental attitude that is shown by the people that is against the management of the reservation area. Next is to ensure the implementation of a stern law. Setting a strong organizational structure is also important; this can be done by making necessary cooperation with related parties, enhancing the quality of the human resources in order to dwell in the global market of Eco-tourism. Thus the kind of management cooperation necessary in order to reach that goal is through the sustainable and people-based Management of the Leuser Ecosystem Area.This concept is using the mechanism that is transparent, involving the public to participate and to be accountable for the implementation of good governance. Implementing the rule of law is also needed to strengthen and to admit the right of the local people to participate in the managing activities, long-range funding and also empower the decentralization of the state fiscal in managing the Leuser. The UU No.22 Tahun 1999 about the local government has given the chance to absorb the people aspiration in the matter of managing their own environment in a way that suited their need best, by using the sustainable development. Although in this UUPD the management of the reservation area is still done by the central government, in this case by The Ditjend PHKA, Department of forestry, but through IKEL the interests of the central government, local government, private sector, NGOs and the local people can be catered.References : 37 books (1986-2001)