Masalah seksualitas adalah masalah kontroversial dalam media. Seiring dengan pergeseran nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, talkshow yang menampilkan tema seksualitas dapat dilihat di layar televisi akhir-akhir ini. Hal ini semacam privilege televisi sebagai bentuk media massa, karena dapat menayangkan tema seksual dalam sebuah masyarakat dengan konteks budaya yang sering dipercaya sebagai "sensitif' untuk hal-hal seperti itu. Penelitian ini berangkat dari keingintahuan penulis untuk mengetahui bagaimana konstruksi seksualitas dalam media televisi.
Tujuan penelitian ini antara lain untuk melihat bagaimana kemasan seksualitas dalam talkshow di televisi, batasan-batasan yang mengatur bentuk penampilan isu seksualitas tersebut, dan aspek-aspek sosial budaya yang mempengaruhi wacana seksualitas dalam talkshow televisi.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dan hanya meneliti realitas simbolik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode semiotik dan bersifat kualitatif, Penelitian ini meneliti bagaimana "Kontak Harmoni Hemaviton" (RCTI), "Tirai" (Anteve), dan "Love and Life" (Metro TV) mengkonstruksi seksualitas. Selain itu, digunakan analisis intertekstualitas untuk mengetahui apakah pola penggambaran seksualitas dalam televisi adalah pola pengungkapan yang umum terjadi di media.
Data yang dianalisis diambil dari rekaman video masing-masing talkshow pada bulan Juni 2001. Selain itu, dilakukan wawancara mendalam dengan produser, studi literatur dan pelacakan sejarah untuk melihat bagaimana aspek sosial budaya ikut mempengaruhi wacana seksualitas.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa ketiga talkshow tersebut mengkonstruksi seksualitas secara berbeda "Tirai" mengemas masalah seksualitas sebagai masalah medis, yang menunjukkan bahwa bahasa, istilah mengacu pada istilah dan bahasa yang ilmiah dan medis. Sementara "Kontak Harmoni Hemaviton" menampilkan sesksualitas sebagai sesuatu yang menghibur, sehingga segala hal dibahasakan secara menghibur. "Love and Life" berada diantara keduanya, menggabungkan unsur medis dan hiburan. Walaupun pengkonstruksian seksualitas oleh masing-masing talkshow tersebut berbeda, namun ketiganya sama-sama mempunyai strategi bagaimana menampilkan seksualitas agar tayangan tidak berkesan vulgar dan mengarah ke pornografi. Disini, ada negosiasi antara tiga pihak yang berkepentingan terhadap talkshow, yakni pihak pengelola atau professional pembuat program, pihak pemilik atau stasiun televisi dan pihak masyarakat. Talkshow kemudian dikemas sebagai acara yang mendidik, menghibur, laku dijual, tapi juga tidak mengabaikan norma dan nilai yang ada dalam masyarakat.
Dari analisis intertekstual dapat dilihat bahwa penggambaran seksualitas di televisi tersebut berbeda dengan penggambaran seksualitas di media cetak. Seksualitas dalam talkshow di televisi digambarkan sebagai perekat harmoni, aktivitas yang selayaknya dilakukan setelah pernikahan dan didekati bukan semata fungsinya untuk rekreatif. Sebaliknya, di Pos Kota sasaran tanya jawab seksologi bukan hanya pada pasangan suami isteri, orientasi seksual diarahkan pada sisi rekreatif dan relasi seksualitas dihargai, yaitu dalam konteks ini hubungan sesama jenis dan perilaku seks di luar nikah tidak dianggap sebagai perilaku yang menyimpang. Faktor yang menyebabkannya adalah bentuk media itu sendiri dan sebaran media televisi yang masih belum tersegmentasi.