Tuberkulosis Paru (TB. Paru) merupakan masalah kesehatan masyarakat penting, WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya ada 581.000 kasus baru tuberkulosis dengan 140.000 kematian dan merupakan penyumbang ke tiga terbesar kasus tuberkulosis di dunia setelah India dan Cina.
Berdasarkan survei tahun 1979 - 1993 didapat prevalensi BTA (+) rata-rata 0,29%, terendah di Bali (0,08%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur (0,79%). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menyebutkan bahwa TB. Paru adalah penyebab kematian ketiga, sesudah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan. Di Kabupaten Pontianak prevalensi TB. Paru BTA (+) tahun 1994 adalah 0,55 per 1000 penduduk. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2000, disain penelitian adalah kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB. Paru berumur 14 tahun dengan BTA (+) yang bertempat tinggal di Kabupaten Pontianak pada tahun 1999 - 2000 dan mendapat pengobatan dengan OAT, baik kategori-1 maupun kategori-2; sedangkan jurnlah sampel yang diambil berjumlah 108 kasus dan 108 kontrol.
Hasil yang diperoleh, dari 459 penderita TB. Paru BTA (+) yang diobati yang dinyatakan sembuh 74,1%, pengobatan lengkap 21,3%, lalai berobat 0,9%, gagal 2% dan meninggal 1,7%. Hasil analisis univariat, dari 216 responden 64,35% jenis kelamin laki-laki dan 33,65% perempuan; umur terbanyak pada kelompok umur 34-43 tahun (31,02%), tingkat pendidikan terbanyak pendidikan rendah (66,2%) dan pekerjaan terbanyak petani/pedagang (60,19%). Pada analisis univariat, dari 14 variabel independen temyata hanya 12 variabel yang dianggap potensial sebagai faktor risiko (p<0,25), variabel yang dianggap sama untuk kedua kelompok (p>0,25) adalah variabel jenis kelamin dan pendidikan.
Hasil analisis multivariat dengan metode regresi logistik dari 12 variabel independen yang diambil sebagai model, ternyata hanya 5 variabel yang mempunyai hubungan bermakna secara statistik (p<0,05), yaitu tidak mengerti materi penyuluhan (OR=5,6 95% CI : 2,3 ; 13,8 dan p=0,000), tidak ada PMO (OR-16,2 95% CI : 4,7 ; 56,0 dan p4,1,000), pengetahuan tentang TB. Paru kurang (OR=31,9 95% CI : 11,3 ; 89,9 dan p=0,000), pelayanan tidak Iengkap (OR-7,0 95% CI : 1,3 ; 36,2 dan p 0,000) dan kelompok umur. Kelompok umur di klasifxkasikan ke dalam 6 kelompok dengan kelompok umur 64-73 tahun sebagai referensi; hasilnya adalah kelompok umur 14-23 tahun (OR-12,9 95% Cl : 1,5 ; 108,5 dan p 0,019), kelompok umur 24-33 tahun (OR-8,3 95% CI : 2.0 ; 68.6 dan p 4l.048), kelompok umur 34-43 tahun (OR-4,9 95% CI : 0,8 ; 32,2 dan p=0,095), kelompok umur 44-53 tahun (OR=11,0 95% CI : 1,5 ; 82,0 dan p--0,020) dan kelompok umur 54-63 tahun (OR-2,7 95% CI : 0,3 ; 20,9 dan p=0,348).
Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu faktor tidak mengerti materi penyuluhan, tidak ada PMO, pengetahuan kurang mengenai TB. Paru, pelayanan tidak lengkap, umur yang secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB. Paru BTA (+) di Kabupaten Pontianak tahun 1999-2000.
Selanjutnya dapat disarankan agar faktor penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan supaya lebih di intensifkan lagi, dilakukan pembinaan secara berkesinambungan terhadap PMO dan meningkatkan kemampuan pengelola program P2 TB Paru di Puskesmas. Selain itu juga juga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ketidakpatuhan berobat, terutama terhadap faktor stigma masyarakat, ESO, PMO dan persepsi terhadap kemajuan pengobatan dengan suatu alat ukur atau instrurnen yang lebih baik.
Daftar Pustaka 46 : (1986 - 2000)
Pulmonary Tuberculosis (Pulmonary TB) is serious public health problem, WHO estimated about 140 thousands of TB deaths in Indonesia annually, and every year 483 thousands new TB Cases and contributed the 3 rd greatest number of TB cases in the world after India and China. Based on survey between 1979 - 1993, the prevalence of AFB (+) is about 0.29%, the lowest is in Bali (0.08%) and the highest is in East Nusa Tenggara (0.79%). The Household Health Survey (SIKRT) in 1995 mentioned that Pulmonary TB was the Std caused of death after Cardiovascular Diseases and Respiratory Diseases. In Pontianak Regency prevalence of Pulmonary TB in 1994 is 0.55% per 1000 people and there is no formal research result about incompliance treatment of pulmonary TB AFB (+) patient mentioned in area.The objective of this research is to understand key factors associated with incompliance treatment of patients of Pulmonary TB AFB (+) in Pontianak Regency. Research was done in June 2000, by using case control design. Population sample are the Pulmonary TB patients in the age over 14 year old with AFB (+) who live in Pontianak Regency in 1999 - 2000 with anti-TB drugs treatment, not only the first category but also the second category. The sample size were 108 cases and 108 controls.The results pre, from 459 Pulmonary TB treated patients AFB (+), 74.1% recovery, 21.3% completed treated, 0.9% defaulted, 2.0% failure and 1.7% dead. The univariate analysis results from 216 respondences 64.35% male and 35.65% female; 31.02% at age group of 34-43 years old, most of them have low education level (66.2%) and 60.19% stated as farmer/merchant. Based on univariate analysis, from 14 independent variables found that only 12 considered as potential risk factors (p<0,25), the variables considered as similar for two categories (p>0.25) are gender and education.In logistic regression method using 12 independent variables in the model and incompliance toward treatment variable as dependent variable, there were only 5 independent variables that have significant relationship (p<0.05). The 5 variables were : the lack of understanding of health promotion materials (OR=5.6 95% CI : 2.3 ; 13.8 and p=0.000), the availability of overseer of the DOT (OR-I6.2 95% Cl : 4.7 ; 56.0 and p=0.000), the lack of knowledge of Pulmonary TB (OR=31.9 95% CI : 11.3 ; 89.9 and p=q.000), the incomplete of facilities service (OR-7.0 95% CI : 1,3 ; 36,2 and p=0,000) and the age groups. The age groups were classified into 6 groups; i.e. 14-23 year old, 24-33 year old, 3443 year old, 44-53 year old, 54-63 year old and 64-73 year old, The age group of 64-73 year old had become a reference for other groups. Each other groups was compared to reference (64-73 year old). The comparisons result in OR-12,9 95% CI : 1.5 ; 108.5 and p=0.019 (group of age 14-23 year old), OR=8.3 95% Cl : 2,0 ; 68.6 and p O.048 (group of age 24-33 year old), OR=4.9, 95% CI : 0.8 ; 32.2 and p=0.095 (group of age 34-43 year old), (OR-11.0 95% CI : 1,5 ; 82,0 and p=0,020 (group of age 44-53 year old) and OR=2.7 95% CI : 0.3 ; 20.9 and p=0.348 ( group of age 54-63 year old ).The conclusion is that the lack of understanding of health promotion materials, the availability overseer of the DOT, the lack of knowledge of Pulmonary TB, the uncompleted of facilities service and the age group have significant relationships (p<0.05) with incompliance toward treatment among patients of Pulmonary TB AFB (}) in Pontianak Regency in 1999 - 2000. Furthermore, it is suggested to make health promotion from health staff more intensive, cultivate the overseer of DOT continuously and improve the capability of the organizer TB Program in health center (Puskesmas). Besides that, it needs to do further research on incompliance toward treatment, mainly on community stigma, drug side effect, efficacy of overseer of the DOT and the perceived treatment using a better indicator or instrument.Reference : 46 (1986 - 2000)