Penelitian ini berangkat dari keprihatinan yang peneliti rasakan, yaitu tentang keberadaan pengemis yang dari hari ke hari kian meningkat jumlahnya.
Selama ini ada asumsi di kalangan masyarakat bahwa salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk mengemis karena ekonomi kurang stabil. Artinya, jika kondisi ekonomi orang tersebut baik tidak akan melakukan pekerjaan sebagai pengemis. Semua peneliti juga termasuk orang yang mempunyai pandangan demikian. Tetapi pendangan tersebut berubah, ketika peneliti membaca sebuah laporan tentang komunitas pengemis yang jumlahnya cukup banyak, yaitu di Desa Pragaan Daya, Sumenep, Madura.
Secara metodologis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yakni pendekatan yang menempatkan pandangan peneliti terhadap sesuatu yang diteliti secara subyektif, dalam arti peneliti sangat menghargai dan memperhatikan pandangan subyektif setiap subyek yang ditelitinya. Pendekatan kualitatif selalu berusaha memahami pemaknaan individu (subjective meaning) dari subyek yang ditelitinya. Pengumpulan bahan dilakukan dengan tiga metode : kajian literatur (literature review), wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan (observation). Hasil data yang terkumpul kemudian dideskripsikan dan dianalisa.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa awal mula munculnya praktek mengemis di Pragaan Daya sudah berlangsung sejak pra kemerdekaan (1930 - 1940-an) hingga sekarang. Bertahannya budaya mengemis karena praktek ini sudah berlangsung lama dari generasi ke generasi/ turun temurun, yang disosialisasikan melalui kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat. Dalam beberapa hal, kajian tentang kehidupan masyarakat pengemis di Desa Pragaan daya, Sumenep, Madura ini memperkokoh teori dari anggapan sementara orang bahwa kemiskinanlah yang menyebabkan orang menjadi pengemis (peminta-minta). Dengan asumsi kesulitan ekonomi merupakan faktor tunggal yang ada di balik profesi kepengemisan ini. Dalam hal demikian pengemis dipandang sebagai satu kategori dengan fenomena kaum miskin lainnya seperti gelandangan yang (terutama) banyak hidup di kota-kota besar.
Namun jika kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Suparlan, 1984:12), penelitian ini membuktikan bahwa tidak seluruhnya konsep dan anggapan tersebut benar.
Dalam kenyataannya, secara menyakinkan, masyarakat Pragaan Daya tidak bisa digolongkan kaum miskin, yang kekurangan rnateri. Karena pada kenyataannya, masyarakat Desa Pragaan Daya, Sumenep, Madura, termasuk golongan masyarakat yang berkecukupan jika diukur dalam standar kehidupan masyarakat pada umumnya memiliki rumah permanen yang lumayan bagus bahkan lux, memiliki sejumlah perabotan elektronik, kendaran sepeda motor, dan bahkan mereka juga memiliki sejumlah binatang piaraan sapi lebih dari satu ekor.
Kalaupun hendak digolongkan sebagai kelompok kaum miskin, kemiskinan yang terjadi di kalangan komunitas masyarakat Pragaan Daya, Sumenep, Madura lebih dekat dengan kemiskinan yang ada di dalam konstruksi Oscar Lewis. Dimana Oscar Lewis tidak melihat masalah kemiskinan sebagai masalah ekonomi, yaitu tidak dikuasainya sumber-sumber produksi dan distribusi benda-benda dan jasa ekonomi oleh orang miskin ; tidak juga melihatnya secara makro, yaitu dalam kerangka teori ketergantungan antar negara atau antar kesatuan produksi dan masyarakat ; dan tidak juga melihatnya sebagai pertentangan kelas sebagaimana yang dikembangkan oleh ilmuwan sosial Marais. Oscar Lewis melliat kemiskinan sebagai cara hidup atau kebudayaan yang unit sasarannya adalah mikro, yaitu keluarga, karena keluarga dilihat sebagai satuan sosial terkecil dan sebagai pranata sosial pendukung kebudayaan kemiskinan. (Lewis, 1988 : xviii).
Kajian ini dengan jelas menggambarkan bahwa, meski benar kemiskinan ekonomilah yang mendorong orang untuk terjun ke dalam dunia pengemis, tetapi pada akhirnya ekonomi bukan menjadi faktor yang menentukan apakah seseorang akan selamanya menekuni profesi sebagai pengemis.
Data-data yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan, ketika para pengemis itu telah menjadi kaya, (tidak lagi berada dalam kesulitan ekonomi) dan tidak terdesak kebutuhan pokok kehidupan, para pengemis itu tetap saja menjalani profesinya. Mereka temyata justru menikmati profesi tersebut, karena temyata profesi ini dalam banyak hal bisa mendatangkan uang yang lebih banyak dibandingkan dengan usaha yang sebelumnya mereka tekuni, seperti berdagang atau pencari kayu bakar. Artinya persoalan mental dan moral yang menentukan apakah seseorang tetap bertahan dengan profesi pengemis tersebut atau tidak.