Penelitian ini menjelaskan : (1) bentuk-bentuk sistem hak ulayat tanah dan hutan Orang Dayak di kedua desa tersebut, (2) dampak sistem ekonomi baru terhadap sistem hak--ulayat tanah dan hutan Orang Dayak, dan (3) strategi Orang Dayak dalam menghadapi dampak sistem ekonomi baru terhadap tanah dan hutan yang menjadi hak ulayatnya. Untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka penelitian ini mengambil studi kasus pada komunitas Dayak di Desa Sape, Kecamatan Jangkang, dan komunitas Dayak di Desa Tunggul Boyok, Kecamatan Bonti. Keduanya secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Sanggau, Propinsi Kalimantan Barat.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kontekstual, dengan tiga jenis teknik pengumpulan data, yakni review dokumen, pengamatan lapangan (observasi) dan wawancara. Masing-masing pendekatan ini memberi kontribusi saling melengkapi, karena itu sering digunakan secara bersamaan dalam suatu penelitian kualitatif guna memperoleh data yang lengkap dan valid. Teknik pendekatan ini menangkap titik pandang masyarakat dan kemudian dilanjutkan dengan mempelajari perilaku aktual dalam hubungan dengan masalah teoritis yang lebih umum (Pella dan Peito, 1984: 63).
Penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk hak ulayat tanah dan hutan tradisional orang Dayak di kedua desa lokasi penelitian ini adalah berupa : lahan pekarangan, ladang, tanah bekas ladang (hawas), kebun karat, pohon ketapang (manggris), tengkawang, tanah kuburan, semak belukar, hutan (rimba/rimbo), wilayah untuk berburu dan meramu, dan kawasan untuk mencari atau menangkap ikan. Masuknya sistem ekonomi baru telah menyebabkan pengembangan pada bentuk hak ulayat baru seperti: sawah tadah hujan atau yang mereka sebut Lobal/ompa/sawalpadong/lohak, HTI-Akasia, dan kebun sawit.
Untuk menghadapi masuknya sistem ekonomi baru pada hak ulayat tanah dan hutannva, Orang Dayak di kedua desa lokasi penelitian ini melakukan berbagai cara, mulai dalam bentuk asosiatif (kerja sama), hingga kedalam bentuk disosiatif (pertentangan atau konflik). Acuan dasar kedua bentuk hubungan sosial tersebut adalah hukum adat yang berlaku sejak nenek moyang mereka, maupun kesepakalan baru sebagai implikasi masuknya sistem ekonomi baru tersebut.
Dalam operasionalisasi aturan-aturan lokal (hukum adat) tersebut, seringkali mengalami benturan dengan aturan-aturan hukum negara dan atau aturan baru sebagai dampak masuknya sistem ekonomi baru. Oleh sebab itu mereka seringkali menggunakan berbagai strategi mulai dari cara membiarkan saja, menghindar, paksaan, perundingan, mediasi, perwasitan, dan atau mereka menggunakan lembaga peradilan (adjudication) adat atau hukum negara. Penggunaan berbagai strategi tersebut sangat selektif, yaitu sangat tergantung pada situasi dan kondisi dimana konflik tersebut terjadi. Oleh sebab itu, dalam penerapan berbagai strategi melalui rekonsiliasi konflik tersebut, mereka harus terlebih dahulu memahami apa pemicu konflik tersebut, siapa yang terlibat, dan bagaimana proses rekonsiliasi dari konflik tersebut.