Tesis ini mengkaji hubungan antara kepercayaan makanan, perubahan lingkungan, dan malnutrisi di Desa Simawang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Kepercayaan atau keyakinan makanan dilihat sebagai inti kebudayaan, yang menurut Ralph Linton (1954) adalah bagian dari kebudayaan yang sukar berubah. Perubahan lingkungan dalam tulisan ini adalah merosotnya kuantitas dan kualitas sumber makanan, khususnya, ikan bilih Danau Singkarak, sebagai akibat dibangunnya instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ombilin beberapa tahun yang lalu. Malnutrisi dimaksud adalah kesalahan gizi yang berakibat negatif, yakni merosotnya kualitas gizi protein masyarakat setempat, khususnya lapisan masyarakat dengan tingkat sosia/ekonomi rendah atau miskin. Konsep ideologi makanan yang digunakan dalam tulisan ini meminjam konsep ideologi dari Clifford Geertz (1973) tetapi dengan konotasi yang berbeda. Apabila Geertz mendefinisikan ideologi dalam konteks sosial dan politik, maka penulis menggunakannya dalam konteks "standar-standar ideal" makanan yang senantiasa diupayakan untuk dicapai oleh warga masyarakat.
Kajian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode etnografi, yang memusatkan perhatian pada rumah tangga sebagai satuan penelitian (Saifuddin 1999), dengan metode pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, wawancara, pencatatan pola konsumsi dan menu makanan dalam rumah tangga (Quandt & C.Ritenbaugh 1986).
Dalam kajian ini ditemukan bahwa kepercayaan makanan dan perilaku makan tidak berubah karena perubahan lingkungan. Hal ini tidak sejalan dengan pendekatan ekologi (Jerome, Kandel, & Pelto 1980) bahwasanya perubahan lingkungan akan mengakibatkan perubahan kebudayaan. Seperti diketahui, kebudayaan dalam pendekatan ekologi hanya ditempatkan sebagai satu bagian dari sistem yang lebih luas. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat Simawang melakukan seleksi dan modifikasi unsur-unsur sumber makanan yang tersedia di lingkungan yang telah berubah dan menyiasati bahan makanan tersebut akan menghasilkan rasa enak (lamak) dan wujud makanan yang "sama" dengan standar ideal makanan Minangkabau. Meski nampaknya kebudayaan berperan penting dalam proses "kebertahanan" pola ideal makanan tersebut, penelitian ini tidaklah sepenuhnya berorientasi pada pendekatan kebudayaan dalam kajian antropologi nutrisi (seperti misalnya, Goode 1992; Meigs 1975; Douglas 1971) karena masyarakat Simawang juga beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi dengan Cara menyeleksi dan memodifikasi sumber makanan yang tersedia.