Negara Orde Baru, yang jauh dari format demokratis, agresif menyebar instrumen sosialisasi sebagai upaya pelanggengan sistem politik. Namun secara teoritik, sosialisasi tidak selalu berhasil secara lengkap, diantaranya dipecah oleh kekuatan imperatif kelas sosial.
Tesis ini mengangkat prerskripsi tersebut. Penelitian dilakukan di Kota Rangkasbitung pada lima bulan menjelang Mei 1998 (Reformasi).
Urgensi penelitian ini disamping persoalan praktis bagi para aktor pengambil kebijakan bertalian dengan upaya perolehan kesempatan pembangunan dengan (bentuk) perilaku politik juga merupakan tanggapan terhadap fenomena kesenjangan atau kelas. Pada tataran teoritik, dalam pendekatan Struktural Fungsional bahwa sosialisasi merupakan proses pelestarian sistem politik, dalam kajian ini proses itu diduga terpecah melalui persoalan kelas sosial.
Kajian masalah itu dilakukan terhadap 100 responder, masing-masing 50 responden untuk setiap kelas sosial melalui sampling purposive, ini tahap pertama. Tahap berikutnya, diambil 2 (dua) informan dalam indeepth interview untuk masing-masing kalas sosial, yang didasarkan pada bentuk okupasi public servant dan bentuk okupasi yang mandiri. Responden berusia berkisar antara 18 sampai 30 tahun. Secara demografi-politik, usia ini adalah generasi baru yang tidak tersentuh oleh perjuangan `45 atau apapun yang berhubungan dengan G 30 S-PKI, tidak ada yang trauma politik . Mereka adalah produk sosialisasi Orde Baru.
Data disusun dalam bentuk tabel silang untuk memudahkan analisa pada keterkaitan antar variabel. Bahasan diurai secara naratif analitik, dimaksudkan paparan data bukan sekedar sajian langsung dari tabel kuesioner dan informan yang sepenuhnya tafsiran peneliti (yang memungkinkan peluang dramatis). Melainkan tafsiran didasarkan rasionalitas teori dan perbandingan dengan penelitian yang lain. Ini dilakukan pada setiap ujung pembahasan bab dan sub-bab atau tema.
Seperti layaknya penelitian sosialisasi mengungkap proses ragam institusi sosial yang tersedia dalam masyarakat yang membangun pengetahuan, nilai dan sikap serta kepedulian. Dalam kerangka tersebut pertanyaan besarnya : bagaimana anak muda kota dalam proses pembentukan orientasi politik dalam kaitannya dengan kelas. Untuk membantu memahami gejala tersebut digunukan Poi ver Perspective dan Sociological Knowledge Approach.
Temuan penelitian tesis ini dalam bagian Kesimpulan disajikan dalam beberapa tesa. Pertama, peran keluarga dalam kelas atas lebih nyata sebagai agen sosialisasi politik, sementara pada kelas bawah peran itu dilakukan oleh peers-group ketetanggaan. Kedua, Orang tua yang menjadi figur publik cenderung memberikan kontribusi terhadap tingkat kepedulian politik anak. Ketiga, institusi agama pada masyarakat kelas atas cenderung bersifat politis sehingga sebagai agen sosialisasi politik lebih menonjol. Keempat, institusi agama pada kelas bawah cenderung sarat dalam wacana sufistik, sehingga memberikan kesan pada bentuk sosialisasi nilai politik yang bersifat konformis secara politik atau pro-state. Kelima, kelas atas lebih memahami aturan main politik, sementara pada kelas bawah lebih memahami peristiwa politik. Keenam, pada kelas bawah demokrasi dipandang dalam kerangka formalistik - institusional, sementara pada kelas atas demokrasi lebih dilihat dari sisi substansi (isi). Ketujuh, nilai - nilai demokratis lebih baik dikalangan anak muda kelas atas. Kedelapan, anak-anak muda kelas atas cenderung bersikap responsif-konservatif terhadap persoalan politik tingkat lokal, sementara pada anak muda kelas bawah terhadap persoalan yang sama bersikap apatis. Kesembilan, anak muda pada kelas bawah bersikap fatalistik terhadap sistem meritokrasi politik dan ekonomi, sementara pada anak muda kelas atas bersikap optimistik bahwa sistem meritokrasi tersebut dapat dibangun, Kesepuluh, bagi anak muda kelas atas terhadap isu politik lokal menunjukkan kepedulian yang lebih tinggi. Sementara terhadap isu kesenjangan ekonomi kepedulian yang tinggi lebih ditunjukkan oleh anak muda dari kelas bawah.
Temuan lain, nampaknya menarik untuk diangkat, bahwa eksklusivisme cenderung dibangun melalui struktur kelas (struktur sosial vertikal) daripada struktur sosial horizontal. Dan, anak muda di kedua kelas cenderung konservatif terhadap nilai agama, tetapi lebih moderat dalam soal suku atau etnis.