Penulisan tesis ini dilatarbelakangi oleh kondisi pelayanan publik di Indonesia yang selama kurun waktu dua orde pemerintahan (orde lama dan orde baru} bahkan sampai saat ini terkesan demikian birokratisnya, sehingga persepsi terhadap birokrasi yang semestinya mengatur tata hubungan secara hirarkhi dan patron-klien, rasional, impersonal dan legalistik telah tampil justeru sebaliknya; yakni irasional, semena-mena, otokratis, inefisien, tidak produktif bahkan muncul sebuah aksioma di kalangan birokrat, 'kalau masih bisa dipersulit kenapa mesti dipermudah!'
Adapun tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai kebijakan pelayanan sektor publik, proses learning organization, pemahaman pegawai terhadap performance management dan kualitas layanan yang diberikan. Pada kesempatan ini kajian mengambil kasus pada Kabupaten Daerah Tingkat II Kebumen. Dengan demikian diharapkan kajian ini dapat memberikan sumbangan pemikian bagi perkembangan wacana administrasi publik, khususnya dalam pemberdayaan organisasi pelayanan sektor publik.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis baik(melalui pendekatan kuantitatif maupun kualitatif. Variabel yang diteliti meliputi kebijakan pelayanan, performance management, proses learning organization dan kualitas pelayanan. Secara empirik data diperoleh melalui berbagai cara, yakni studi lapangan, wawancara, analisis kebijakan dan kajian pustaka. Populasi sasaran (target population) dalam penelitian ini adalah pegawai Pemerintah Daerah Tingkat II Kebumen dan masyarakat sebagai pelanggan yang ditetapkan berdasarkan simple random sampling atau acak sederhana. Unit analisis dalam penelitian ini adalah Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kebumen yang diwakili oleh unit pelayanan Rumah Sakit, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Bagian Tata Pemerintahan, dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten yang mana masing-masing berperan dalam pelayanan di bidang kesehatan, kebersihan, layanan KIP, dan layanan IMB.
Sampling frame dalam penelitian ini meliputi pelayanan kesehatan (pegawai 40 orang dan masyarakat 40 orang), pelayanan kebersihan (pegawai 30 orang dan masyarakat 40 orang), pelayanan KTP (pegawai 8 orang dan masyarakat 30), dan pelayanan IMB (pegawai 12 orang dan masyarakat 20 orang).
Setelah dilakukan penelitian diperoleh gambaran bahwa kebijakan pelayanan publik dirumuskan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dan masyarakat dalam melakukan transaksi pelayanan publik. Pelayannan publik dilakukan secara terpisah sesuai dengan jenis atau macam layanan dan dilakukan oleh unit pelayanan publik yang berbeda. Kebijakan pelayanan belum berorientasi pada visi dan misi organisasi, sehingga kebijakan pelayanan yang ada merupakan perangkat peraturan perundang-undangan yang sifatnya bisa saja operasional, petunjuk pelaksana dan teknis.
Kebijakan pelayanan publik kurang adaptable terhadap berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat.
Kebijakan pelayanan publik belum tersosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat, namun hanya sebagian masyarakat saja yang memahaminya. Penegakkan hukum terhadap pelanggaran suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan tidak dilakukan secara tegas, bahkan setengah-setengah sehingga dalam masyarakat muncul anggapan ketidakseriusan dan ketidakpercayaan terhadap kualitas layanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Organisasi pelayanan publik belum melakukan proses pembelajaran oragnisasi sebagai salah satu strategi mengantisipasi perubahan. Dengan demikian, kecil sekali kemungkinan adanya perubahan sikap dan perilaku pada jajaran aparatur pemerintahan daerah. Tidak adanya dukungan kebijakan terhadap proses pembelajaran, tidak adanya motivasi dan penghargaan terhadap kegiatan pembelajaran merupakan akibat yang muncul dari budaya birokrasi dimana pegawai menganggap dirinya (balk individu maupun organisasi) merupakan instrumen dari organisasi yang lebih besar sehingga tidak perlu mengedepankan proses pembelajaran.
Pemahaman pegawai terhadap manajemen kinerja maish belum sepenuhnya dimengerti. Berdasarkan berbagai pemyataan yang terkait dengan manajemen kinerja kebanyakan responden menjawab atau menanggapi pemyataan antara setuju dan tidak setuju, yang berarti belum sepenuhnya mengetahui konsep manajemen kinerja yang sebenarnya. Hal ini dapat dimakiumi karena ternyata manajemen kinerja belum diberlakukan sebagai suatu strategi pemberdayaan organisasi pelayanan sektor publik, tetapi baru pada tingkat pemahaman kognitif yang belum sepenuhnya sesuai dengan konsep dasar yang ada.
Kepuasan pelanggan dalam hal ini masyarakat masih menunjukkan tingkat yang rendah. Hal ini terlihat dari adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan oleh pelanggan atau masyarakat dengan kenyataan layanan yang diterima. Kesenjangan yang terjadi menunjukkan kecenderungan negatif, yang artinya pelayanan masih belum dapat memuaskan masyarakat.
Manajemen pelayanan publik masih tertinggal dari pelayanan organisasi bisnis yang menekankan pada orientasi profit dan kepuasan pelanggan. Bahkan secara operasional, teori mengenai kebijakan, manajemen kinerja, organisasi pembelajaran dan kualitas pelayanan mengalami kesulitan diterapkan pada organisasi pelayanan publik dalam hal ini Pemerintah Daerah. Hal ini disebabkan pegawai belum sepenuhnya mau berubah dan slap berkompetisi.
Beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah bahwa sesuai dengan perubahan yang demikian cepat, tingkat persaingan yang tinggi, serta kompleksitas masalah yang berkembang di masyarakat, sudah seharusnya Pemerintah Daerah sebagai pihak yang terkait dengan pelayanan publik secara langsung, dapat meningkatkan kinerjanya melalui berbagai strategi pemberdayaan organisasi.