ABSTRAKSalah satu tujuan dari pengembangan sistem ketenagaan kebidanan adalah diakuinya bidan di Indonesia secara nasional dan internasional sebagai tenaga profesional, memadai dalam jumlah dan mutu, serta aktif dalam mengembangkan kebijakan kesehatan nasional dan pencapaian kesehatan. Sebagai institusi pendidikan tenaga kesehatan, Akademi Kebidanan bertugas untuk menyelenggarakan program pendidikan Diploma III Kebidanan, memiliki fungsi yang sangat strategis.
Sebagaimana institusi pendidikan tenaga kesehatan pada umumnya, Akademi Kebidanan pada khususnya tidak terlepas dari hambatan dan tantangan yang diantaranya adalah biaya penyelenggaran pendidikan yang dirasakan masih kurang, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), kurangnya sarana, kurangnya ruang gerak yang diberikan serta masalah kelembagaan institusi.
Sebagai dampak dari kurangnya biaya pendidikan akan berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan program, baik yang menyangkut kegiatan belajar mengajar maupun penyediaan sarana/prasarana pengajaran. Analisa biaya pendidikan yang dilakukan secara cermat diharapkan dapat diperoleh rincian biaya total (total cost) maupun biaya unit (unit cost) untuk masing-masing pengeluaran. Unit cost dari suatu program dapat digunakan sebagai pengambilan kebijakan untuk menetapkan tarif, dengan mempertimbangkan kemampuan dan kemauan membayar (ATPIWTP) serta kondisi pesaing dari program yang setara.
Analisis dilakukan terhadap biaya pendidikan di Akademi Kebidanan Depkes Bogor tahun 1998/1999, untuk memperoleh optimalisasi tarif pendidikan kaitannya dengan kemampuan dan kemauan membayar masyarakat di bidang pendidikan.
Hasil penelitian menunjukkan struktur biaya program pendidikan Diploma III Kebidanan kornponen yang terbesar adalah biaya gaji pegawai yaitu sebesar Rp 458.604.000,- atau 26,9 % dari total biaya pendidikan. Untuk biaya satuan aktual rata-rata per peserta didik/ semester sebesar Rp 4.341.108,- bila dibandingkan antara kelas reguler sebesar Rp 5.365.415,- dan kelas ekstensi sebesar Rp 3.634.711;/peserta didik/semester termasuk biaya hidup. Jumlah biaya pendidikan program D III Kebidanan untuk tahun ajaran 1998/1999, sebesar Rp 1.315.965.762,- atau 77,3 % yang berasal dari pemerintah, sedangkan clan non pemerintah sebesar Rp 385.748.705,- atau 22,7 %.
Berdasarkan perhitungan biaya pendidikan yang dibutuhkan sampai dengan seorang menjadi Ahli Madya Kebidanan, kelas regular jauh lebih besar dari kelas ekstensi. Untuk kelas reguler dengan lama pendidikan enam semester perlu biaya Rp 32.192.490,- dari pei-hitungan 80 orang, sedangkan pada kelas ekstensi sebesar Rp 21.808.266,- dari peserta didik 116 orang.
Dari perhitungan tarif pendidikan pada tahun tersebut subsidi yang diterima oleh kelas regular lebih besar bila dibandingkan kelas ekstensi yaitu sebesar Rp 888.877.008; untuk biaya tetap dan Rp 427.088.754,- untuk biaya variable dengan demikian total biaya subsisi secara keseluruhan sebesar Rp 1.315.965.762,- sedangkan untuk kelas ekstensi hanya terkait dengan biaya variable saja , yaitu sebesar Rp 102.531.200,-.
Untuk menentukan kemampuan membayar masyarakat (ATP) dengan potongan 30 % dari pengeluaran non esensial, maka ada 94 % masyarakat yang mampu bila tarif tersebut dinaikan sampai dengan Rp 1.500.000,/peserta didik/semester dan sekitar 96 % masyarakat mampu membayar uang pendidikan sampai dengan Rpl.200.000, /peserta didik/semester.
ABSTRACTEducation Cost and Fare Optimization and Analysis, in Facing Education Autonomy on Midwifery Academy Department of Health, Bogor Year 1998/1999One of Midwifery development system is to produce the Indonesian midwife as a professional, be adequate in quality and quantity confessed nationally and internationally, and be active in developing national health policy and health achievement. As the education institution of health employee, Midwifery Academy has a duty to hold the Diploma III midwifery Education and owns a very strategic function.
As well as the education institution of health employee commonly, Midwifery Academy is not free from barrier and challenge. Some of them are lack of education cost, low quality of human resources, lack of facility, less of given space and institutional problem.
The lackness of education cost influences the smoothness of the program implemented, either learning and teaching activity or its facilities. By analyzing the education cost accurately, it will be obtained the detail of total cost and unit cost for each expending. The unit cost of a program could be used as decision making to determine the fare, by considering ability to pay (ATP) and willingness to pay (WTP) and competitor condition in equal program.
The analysis of education cost was carried out at the Midwifery Academy, Health Department, Bogor 1998/1999 to obtain the education cost related to the ability to pay and the will to pay of society in education sector.
Having researched, the result showed that the highest cost of Dilpoma III Midwifery Education program is on the employee salary about Rp. 458.604.000,- or 26,9 % of total cost. For the average actual unit cost per student, per semester is about Rp. 4.341.108,-. Whereas for the regular class is about Rp.5.365.415,-, and for extention class is about Rp. 3.634.711,- per student per semester including life cost.
The amount of education cost for Midwifery Diploma III program for year 1998/1999 is Rp. 1.315.965.762,- or 77,3 % subsidized by govermment, and Rp. 385.748.705.- or 22,7 % from non government.
Based on the calculation, the education cost that needed by a person to be a medium Midwife profesional, the regular class spent higher cost than extension one. For reguler class by six semester length of education program needed Rp. 32.192.490,- per 80 students_ and Rp. 21.808.266,- per 116 students for extention class. Fare calculation of that year, subsidy accepted by the regular class is much higher compared to the extension class as much as Rp.888.877.008,- for fixed cost and the variable cost is Rp.472.088.754,- Hence, the total subsidy for regular class is Rp.1.315.965.762;while for the extension class is merely connected to the variable cost as much as Rp,102.531.200; .
To determine the people's ability to pay (ATP) by 30 % discount from non-essential expending, noted that there were 94 % of the people be able to pay if the fare increased at Rp.I.500.000,- per student, per semester and about 96 % of them afford to pay if the fare is increased at Rp.1.200.000; per student per semester.