Awal terciptanya suatu ikatan perkawinan seharusnya melalui tahap-tahap penetrasi sosial (Altman & Taylor, 1973). Sejalan dengan berkembangnya hubungan antar pribadi pada masing-masing pihak tidak terlepas dari komunikasi antar pribadi. Komunikasi antar pribadi dalam sebuah hubungan merupakan kunci kesuksesan atau keharmonisan dalam bentuk hubungan yang diinginkan.
Ada sepuluh karakter dari komunikasi antar pribadi yang harus dijalankan oleh masing-masing individu (Devito, 1990). Setelah tercipta komunikasi antar pribadi yang efektif maka akan timbul rasa percaya (O'Hair, Friedrich, Wiemann & Wiemann, 1997).
Dari rasa percaya tersebut maka dengan sendirinya seseorang akan mencoba untuk mengungkapkan dirinya atau memberikan informasi mengenai dirinya kepada pasangannya (self disclosure), bersifatnya timbal balik dan menjadikan suasana lebih akrab (Jourard, 1959; Jourard & Lansman, 1960; Jourard & Richman, 1963; Chittick & Himelstein, 1967).
Salah satu cara untuk mengungkapkan diri adalah dengan sharing (Stewart & D'Angelo, 1988) serta dengan listening (O'Hair, Friedrich, Wiemann & Wiemann, 1997).
Hubungan antar pribadi tersebut akan berkembang menjadi hubungan yang stabil (Stable Exchange) (Altman & Taylor, 1973; O'Hair, Friedrich, Wiemann & Wiemann, 1997). Dimana untuk memasuki ikatan perkawinan itu seseorang harus mempersiapkan dirinya dalam sebuah komitmen (Tubbs & Moss, 1996; Stewart & D'Angelo, 1988; Ruben, 1992) dan juga cinta (gunarsa, 1978).
Tetapi dalam sebuah perkawinan tentunya tidak lepas dari konflik yang mengangkat permasalahan yang sesunggguhnya maupun emosional (Watton, 1987). Permasalahan emosional dapat berupa tidak terpemuhinya sepuluh kebutuhan emosional dari pasangan menikah (Harley Chalmers, 1998). Penyelesaian konflik yang terjadi diantara pasangan suami istri tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan kompetitif, kalaborasi, kompromi, penghindaran; dan akomodasi (Hacker & Wilmot, 1978; Fitzpatrick, 1988).
Pada kenyataannya permasalahan yang muncul dalam konflik-konflik tersebut tidak semuanya dapat diselesaikan dengan komunikasi. Akhirnya salah satu pihak yang merasakan ketidakpuasan dalam hubungan antar pribadi dalam ikatan perkawinan mencoba untuk mencari penyelesaiannya diluar perkawinan (Fromm, 2000) yang berdasarkan pada alasan psiko fisik, sosial, dan psikologi (Satiadarma, 2001).
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana pendekatan diarahkan pada latar belakang kehidupan individu secara utuh. Data yang digunakan bersifat deskriptif, dikumpulkan dari hasil wawancara yang mendalam (depth interview) terhadap tujuh pasangan menikah yang salah satu pihaknya melakukan perselingkuhan dengan menggunakan teknik bola salju (snow ball). Tipe penelitian yang digunakan adalah studi kasus yang mengangkat masalah perselingkuhan diantara pasangan menikah.
Hasil analisis dari penelitian ini adalah bahwa semua konflik melibatkan komunikasi tetapi tidak semua konflik berawal dari komunikasi yang menyedihkan (Stewart & D'Angelo, 1988). Dan penyelesaian konflik tidak harus dalam bentuk komunikasi verbal tetapi juga dapat menggunakan komunikasi non verbal karena penyelesaian konflik yang biasanya timbul dalam pasangan menikah adalah cendrung lebih berorientasi pada menjaga suatu hubungan (Fitzpatrick, 1988).