ABSTRAKTesis ini berbicara mengenai kebijaksanaan Inggris terhadap Uni Ekonomi dan Moneter, dengan fokus kebijaksanaan Inggris terhadap mata uang tunggal Eropa atau yang lebih dikenal sebagai Euro. Pembentukan mata uang tunggal Eropa sebagai tahap akhir uni ekonomi dan moneter merupakan salah satu fenomena terakhir dalam integrasi kawasan. Integrasi kawasan Eropa Barat yang dimulai semenjak paska PD II, kini telah mencapai tahap integrasi antar negara yang paling mendalam di dunia, dengan dibentuknya mata uang tunggal Eropa/Euro, sebagai tahap akhir dan uni moneter dan ekonomi Eropa. Uni moneter diharapkan akan membuka jalan bagi langkah -langkah lebih maju ke arah uni politik.
Namun dalam atmosfir integrasi yang sudah cukup dalam ini, tetap terdapat beberapa hambatan di antara negara anggota Uni Eropa untuk memberikan komitmen yang kuat ke arah integrasi menyeluruh. Hal ini tampak saat Inggris, Swedia dan Denmark memutuskan untuk menunda bergabung dalam euro. Penulis memilih untuk membahas lebih lanjut berbagai faktor yang melatar belakangi keputusan Inggris tersebut. Mengingat keberadaan Inggris sebagai salah satu negara besar di Eropa, maka setiap tindakannya akan memberikan dampak pada langkah-langkah integrasi Eropa selanjutnya. Besarnya peran, pentingnya peran dan komitmen pemerintah nasional dalam suatu proses integrasi juga menjadi bagian dari kajian Robert Keohane dan Stanley Hoffman, Keohane dan Hoffman berargumentasi bahwa fokus awal yang tepat bagi analisa adalah tawar-menawar yang terjadi pada tingkat antar pemerintahan (intergovermental).
Di balik berbagai teori yang berupaya menjelaskan fenomena kerjasama antar negara di Eropa Barat, satu hal yang pasti adalah kenyataan bahwa selama ini terdapat berbagai kekuatan yang menyatukan maupun memecah belah Eropa (unifying and dividing forces). Kekuatan-kekuatan ini bermunculan pada tingkat regional dan nasional, serta mempengaruhi prospek masa depan integrasi Eropa. Dalam kasus Inggris, proses pengambilan kebijaksanaan terhadap EMU dipengaruhi oleh Kekuatan Negara (Statism) dan Kekuatan Pasar (Market Forces). Di satu sisi kekuatan pasar cenderung menciptakan dan mendorong interdependensi serta tidak menghiraukan kedaulatan. Di sisi lain, walaupun Inggris secara kelembagaan telah menjadi anggota EC, namun kehidupan bernegara masyarakat Inggris belum terintegrasi dalam komunitas Eropa.
Dua variabel yang dianggap melatarbelakangi keputusan Inggris untuk menunda keanggotaannya dalam mata uang tunggal Eropa, yaitu Sentimen Nasionalisme di kalangan masyarakat Inggris dan berbagai pertimbangan dampak uni moneter terhadap perekonomian Inggris. Variabel yang pertama berkenaan perdebatan mengenai apakah uni moneter memang dapat mendorong ke arah integrasi politik, sementara uni moneter tidak dapat sukses tanpa dukungan dan komitmen politik masyarakat negara anggota Eropa. Bergabung dengan mata uang tunggal Eropa memiliki konsekuensi hilangnya Poundsterling dan otoritas kebijaksanaan moneter nasional. Kelompok yang bersifat skeptis, memiliki kekhawatiran euro akan menjadi titik awal perlucutan kebijaksanaan nasional di bidang lainnya, sehingga makin merongrong kedaulatan nasional suatu bangsa. Dampak uni moneter terhadap perekonomian Inggris, juga menjadi pertimbangan mendasar mengenai kebijaksanaan terhadap mata uang tunggal. Singkatnya negara Uni Eropa, terutama Inggris belum memenuhi tingkat integrasi yang diperlukan untuk mencapai suatu uni moneter yang sukses. Sebaliknya dengan kondisi yang ada sekarang dikhawatirkan sistem uni moneter menjadi tidak efisien, dan dalam sejarah telah terbukti bahwa suatu sistem perekonomian yang tidak efisien usianya tidak akan bertahan lama.
Kombinasi dari pertimbangan politis dan ekonomis mengenai berbagai dampak yang timbul sebagai konsekuensi keanggotaan dalam mata uang tunggal Eropa menjadi dasar keputusan Inggris untuk menunda keikutsertaannya. Namun keputusan ini tidak menutup peluang Inggris untuk menjadi anggota, bila suatu saat nanti keanggotaan dalam euro dianggap penting untuk mencapai kepentingan nasional Inggris.