Fenomena bakupiara adalah suatu bentuk keluarga tidak sah yang telah diterapkan oleh sebagian masyarakat tidak mampu pada komunitas orang Tontemboan. Oleh kelompok komunitas masyarakat lain, bentuk bakupiara di lihat sebagai realitas dari kehidupan suatu masyarakat yang sangat bebas. Bahkan ada penulis seperti J. Prins melihat bakupiara sebagai bentuk perkawinan adat. Sebaliknya bagi komunitas orang Tontemboan menganggap bakupiara sebagai suatu yang tidak bermoral, tidak bersusila dan tidak mengikuti norma.
Bentuk orang Tontemboan yang tidak mengenal sistem kerajaan merupakan dasar dari kebebasan dan demokrasi berinteraksi. Akan tetapi komunitas orang Tontemboan mempunyai nilai adat-istiadat sebagai norma yang harus dipatuhi. Wujud dan norma berdasarkan tradisi bagi suatu perkawinan adalah adat-istiadat perkawinan. Sesuai adat; perkawinan sah apabila suami-isteri telah mengikuti perkawinan adat yang disahkan oleh Walian dan Tonaas. Dewasa ini kedudukan Walian diganti oleh Guru Jemaat atau Pendeta, dan kedudukan Tonaas diganti oleh Hukum tua sebagai Kepala desa.
Bakupiara tidak mengikuti proses perkawinan adat. Dengan demikian bentuk bakupiara merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang. Bakupiara terjadi karena suatu struktur dalam masyarakat itu sendiri seperti pendapat Robert K. Merton. Jadi peran masyarakat terhadap munculnya bakupiara sangat besar.
Sebagai bentuk menyimpang; bakupiara perlu mendapat reaksi masyarakat. Sanksi menjadi sarana yang dapat digunakan untuk mencegah pelaku bakupiara bertindak lebih jauh keluar dari hukum negara dan norma masyarakat. Akan tetapi pemberian sanksi harus disesuaikan dengan bentuk kesalahan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan pemikiran dari Robert K. Merton dan Rossi. Sejauh jenis prilaku menyimpang belum meresahkan masyarakat umum, sanksi yang diberikan harus bersifat ringan yaitu bentuk peringatan.