Tesis ini sebuah telaah atas perubahan kurikulum sejarah di Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1975 sampai dengan 1994. Dalam mengkaji kebijakan nasional bidang pendidikan, menunjukan bahwa ternyata kebijakan tersebut sangat mempengaruhi kurikulum persekolahan baik yang nampak dalam struktur kurikulum maupun materi pelajaran, khususnya pada mata pelajaran Sejarah Indonesia dan Pendidikan Pancasila. Studi ini juga mengkaji proses perubahan kurikulum sejarah SMA tahun 1975, 1984 dan 1994 serta mendeskripsikan berbagai temuan yang menggambarkan hasil implementasi kurikulum tersebut.
Berbagai data yang diperoleh dari penelitian ini mengungkapkan adanya berbagai variabel yang mempengaruhi pelaksanaan kurikulum, salah satunya terkait dengan kebijakan nasional dalam aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Pengaruh dari kebijakan nasional membawa konsekuensi bagi pendidikan sejarah pada struktur kurikulum 1975 tidak ada lagi. Hal ini disebabkan mata pelajaran sejarah merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Para pengembang kurikulum ingin menerapkan model pendidikan di Amerika yang dianggapnya berhasil membawa kemajuan bagi negara tersebut. IPS merupakan terjemahan yang keliru dari social studies. Sebagai bagian dari IPS, sejarah Indonesia diajarkan kepada siswa SMA jurusan IPA hanya pada semester pertama, selebihnya di jurusan IPS dan Budaya yang mendapatkan Sejarah Indonesia dan Sejarah Kebudayan.
Kurikulum 1975, merupakan peletak dasar pertama dalam perkembangan sejarah penyusunan kurikulum Indonesia yang menggunakan teori pendidikan dengan pendekatan sistem. Melalui pendekatan tersebut keterkaitan antara tujuan, materi, strategi pembelajaran dan evaluasi pendidikan sangat jelas. Sejarah sebagai bagian dari IPS, menuntut kreativitas guru dalam mengemas materi sejarah yang berwawasan IPS (Geografi, Ekonomi, Kewargaan Negara) dengan pendekatan sistem tersebut. Namun masuknya sejarah dalam bidang studi IPS membawa akibat yang tidak menguntungkan pada pengajaran sejarah.
Pengajaran sejarah dianggap gagal dalam menumbuhkan kesadaran sejarah, memupuk sikap patriotisme dan nasionalisme siswa serta generasi muda, karena pads kurikulum 1975 tujuan pendidikan sejarah semata-mata membentuk visi keilmuan dan kurang memperhatikan tujuan untuk pembentukan nilai yang tercakup dalam mata pelajaran Sejarah dan Kewargaan Negara.
Sejak diberlakukannya kurikulum 1975 berkembang wacana untuk menelaah kembali pelajaran sejarah. Sejarah harus dikeluarkan dari kelompok IPS, sebab sejarah merupakan bagian dari Pendidikan Humaniora.
Berkembangnya dinamika sosial politik masyarakat ikut mempengaruhi terhadap konstelasi politik nasional saat itu, sebagai akibatnya kebijakan pendidikan yang dimunculkan berkaitan erat untuk memperkokoh ideologi politik dan hegemoni kekuasaan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengintervensi kebijakan pendidikan. Dalam perkembangan berikutnya (kurikulum 1984) posisi sejarah dalam struktur kurikulum memunculkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), yang tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1981 Meskipun PSPB bagian dari Pendidikan Pancasila yang berarti bukan pendidikan sejarah, tetapi kebijakan memberikan mata pelajaran tersebut kepada siswa dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, menjadi polemik dan wacana perdebatan di antara para sejarawan dan pendidik sejarah. Menurut para pakar sejarah yang berorientasi akademik (Sartono, Taufik Abdullah, Harsja W. Bachtiar) meniiai nuansa "pendidikan politik" dalam mata pelajaran tersebut begitu besar. Dalam penentuan materi nampak ada usaha untuk membuat "babad" baru, Sepeninggal Nugroho, Menteri (a.i.) J. B. Sumarlin mengambil kebijakan yang lebih fleksibel dalam penerapan mata pelajaran PSPB, tidak lagi secara formal terstruktur.
Pada akhir tahun 1980-an pemerintah Indonesia berhasil membuat Undang - undang No. 2 Tabun 1989 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional. Atas dasar undang-undang tersebut, persiapan penyempumaan kurikulum persekolahan dimulai. Kurikulum baru tahun 1994 disusun tanpa mata pelajaran PSPB dan Sejarah Indonesia diajarkan kepada siswa SMU selama 9 catur wulan untuk semua jurusan.
Pengembangan kurikulum tidak lagi berdasarkan teori pendidikan dengan pendekatan sistemnya, kurikulum 1994 dikembangkan dengan menggunakan teori kurikulum. Berdasarkan teori tersebut, hubungan antara tujuan, materi, strategi pembelajaran dan evaluasi tidak merupakan sesuatu yang mutlak, tetapi ada fleksibilitas dalam pencapaian tujuan. Satu tujuan dapat dicapai oleh beberapa pokok bahasan atau beberapa sub pokok bahasan.
Filosofi pengembangan kurikulum 1994 adalah dalam rangka memberikan kebebasan kepada guru untuk mengembangkan kreativitasnya dan memberi penghargaan yang tinggi terhadap profesionalisme guru. Kondisi yang terjadi di lapangan (sekolah) tidak seperti apa yang diharapkan, karena berdasarkan hasil penelitian para pakar, ide pengembangan kurikulum 1994 tidak banyak dimengerti oleh guru karena kurang disosialisasikan. Sebagian besar guru masih pada poly lama, mengajar dengan cara konvensional.
Hal ini bertambah rumit dengan adanya kebijakan Kanwil, dan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) produk MGMP wilayah ikut memberi andil menghambat kreativitas guru. Sejarah sebagai ilmu dan alat pendidikan belum memperoieh titik temu pada tatanan kebijakan pendidikan pemerintah. Sejarah sebagai mata pelajaran yang merangsang kreativitas berfikir dan proses sosialisasi bagi siswa belum dapat terpenuhi. Sejarah tidak hanya mengajarkan fakta, tapi bagaimana guru dapat mengajak siswa berfikir kritis dan rasional, sehingga pelajaran sejarah tetap menarik bagi siswa SMA.
This thesis is a study of the change of histori's curriculum in Senior High School from the year 1975 until 1994. In studying the national policy on educational field, it apparently indicates that the policy greatly influences school curriculum 6081 in the structure of curriculum and in subject matter, especially the subject of Sejarah Indonesia and Pendidikan Pancasila. This study also investigates the process of the change of sejarah curriculum in senior high school year 1975, 1984 and 1994 and also explains various findings describing the result of that curriculum implementation.
Various data which were obtained from this investigation reveals a lot of existing variables which influenced the implementation of curriculum, one of which is concerning with national policy on political, social, economical and cultural aspect.
The influence of national policy brings about consequences that there is no education of history on the strcture curriculum 1975. It is because the subject of history forms a part of social studies (IPS). The curriculum designers want to apply American education model which is considered succesfull in bringing abouth progress for the country. IPS is mistaken translation from social studies. As a part of IPS, Sejarah Indonesia is taught to high school students who take the department of IPA only at the first semester, the rest is in the department of [PS and Budaya which constitute Sejarah Indonesia and Sejarah Kebudayaan.
Curriculum 1975 from the first founder within the history development of Indonesia's curriculum arrangement which is using educational theory by sisthemic approach. By using this approach, the connection between objective, material, learning strategy and evaluation becomes very clear. History as a part of 1PS demands teacher's creativity in conveying history substances which are IPS --oriented (geography, economy, civics) by using that systemic approach. But the disadvantage result on the teaching of history. The teaching of history is considered fail to generate historical awareness, to foter student's as will as young generation patriotic and nationalistic attitude.
Since curriculum 1975 is put into effect, there is a discourse to review the subject of Sejarah that must be excluded from IPS, because history is a part of Humaniora Education,
The development of society's social political dynamic takes part in influencing constellation of national politis at the time, as a result, the emerged educational policy is greatly related with the strengthening of political ideology and power hegemony. It can be done by interferring educational policy. In the next development of curriculum 1984, the position of history in the curriculum structure brings up Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) which is included in Garis-Garis Besar Haluan Negara 1983. Although PSPB is a part of Pendidikan Pancasila which means it is not educational of history, but it becomes polemic and discourse argument among historists and historist education if that subject-matter is given to kindergarten student tell university student. According to academic-oriented history experts (Sartono, Taufik Abdullah, Harsjah W. Bachtiar), the "political education " nuance within thay subject matter is profound. In determining the material, it appears that there is an effort to make new " history". After the death of Nugroho, the minister (a.i) J.B. Sumarlin made the more flexible policy on applying the subject of PSPB, not in structurally formal way.
At the end of 1980s, the Indonesian government succeeded in making laws no.2 year 1989 on the principal of national education system. On the basis of the laws, preparation on the completion of school curriculum began. The new curriculum 1994 is composed without inserting the subject of PSPB, and then Sejarah Indonesia is taught to high school student for 9 Quarter month for all departments.
The philosophy of develoving curriculum 1994 is to give teachers freedom to develop their creativity and give them high reward for their professionalism. What happened in the (school) is not likely to be as expected, since according to the research of the experts, the idea of the development of curriculum 1994 is not well-understood by teachers because it is less-socialized.
Most teachers are still using the old pattern by teaching conventionally. It is getting more difficult with the presence of Kanwil policy and the product of MGMP which take part in hamperring teachers'creativity. Sejarah as a science and educational tool didn't obtain a point on the order of government educational policy. History as a subject matter which stimulates thinking creativity and socialization process for students hasn't been an end meets.
History not only teaches facts but also encourage teachers to how they can make students think critically and rationally, so that the lesson of history keep exciting for high school student.