Untuk mempelajari Filsafat perlu dilakukan langkah-langkah melalui jalur; pertama, sejarah atau langkah diagroni. Kedua, jalur sistimatika atau jalur pemetaan dengan langkah sinkroni. Ketiga, jalur tematis, dan keempat melalui jalur system-sistem filsafat atau gagasan. Jalur pertama atau jalur sejarah dapat dilakukan dengan pembahasan mengenai filsafat Yunani dan abad pertengahan, filsafat modern dan filsafat kontemporer. Di mana sebenarnya pembagian-pembagian ini didasarkan kepada fokus pertanyaan-pertanyaannya, yang dari waktu ke waktu mengalami pergeseran-pergeseran. Namun demikian, pergeseran-pergeseran tersebut senantiasa tetap berada di dalam kajian filsafat yang meliputi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Kalau filsafat Yunani dan abad pertengahan berkisar pada pertanyaan-pertanyaan kosmologis dan teologis dengan titik tekan pada bidang ontologi atau aksiologi, maka filsafat modern dan kontemporer berkisar kepada pertanyaan-pertanyaan antropologis dan penekanan di bidang epistemologi.
Menurut Susanne Langer dalam Philosophy in A New Key, sejarah Filsafat dibagi atas enam tahapan, dua di antaranya 1) dikenal dengan tahap kebangkitan Filsafat, dimulai oleh tokoh-tokoh seperti Thales, Anaximandros, Heraklitos, Phytagoras, Parminedes dan Demokritos. Pada tahap ini Para filsuf alam mencoba memahami kosmos dengan penalaran-penalaran. Pemahaman tentang alam bergeser dari pemahaman mitologis kepada pemahaman filosofis. Dan tahapan berikutnya 2) dikenal dengan filsafat manusia dengan tokohnya seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Pada tahap ini kesadaran dan pemahaman filsafat mengalami pergeseran yang relatif lebih radikal, di mana pemahaman terhadap alam bergeser kepada kehidupan sosial masyarakat yang cenderung antropometrik. Yang perlu dicatat pada tahap ini adalah adanya perbedaan tajam dan mendasar antara Plato dan Aristoteles, karena paham kedua tokoh tersebut selanjutnya menjadi world-view yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan filsafat berikutnya, terbukti dengan lahirnya Platonisme atau Neoplatonisme di satu sisi, dan Aristotelisme atau Peripatetikisme di sisi lain.
Untuk dua nama isme yang disebutkan pertama, Platonisme dan Aristotelisme, keduanya cenderung lebih original dan konsisten di dalam berpegang kepada masing-masing soko-gurunya. Platonisme berpaham terhadap dunia idea sebagai realitas yang mutlak, tidak berubah-ubah, dan dunia jasmani hanyalah cermin darinya. Sedangkan Aristotelisme berpendapat bahwa realitas sebenarnya adalah bersatunya bentuk dan materi. Realitas (dunia fisik) ada secara aktual bila materi dan bentuk hadir secara bersama dalam satu wujud. Alibi salah satunya menjadikan bentuk atau materi hanya dalam potensial semata.
Sedangkan Neoplatonisme dan Peripatetik (Islam) tidak lagi berada sepenuhnya di dalam konsistensi masing-masing. Salah satu bias terhadap yang lain. Memang para filsuf Peripatetik (Islam) ketika "berkutat" dengan filsafat Alam, cenderung konsisten sebagai ciri Aristotelian, namun setelah memasuki wilayah kajian metafisika dan teologi, unsur Aristotelisme, Platonisme, dan ortodoksi berbaur menjadi poin-poin kesimpulan filsafat, sebagai ciri Neoplatonis.
Jadi pada kondisi demikian, maka Peripatetikisme bias dengan Neoplatonisme, dan al-Ghazali hadir dengan kritiknya berusaha menjelaskan tahafut al Falasifah (inkonsistensi para Filsuf). Namun harus digarisbawahi, bahwa kritiknya bukan untuk bangunan filsafat secara keseluruhan, tapi hanya ditujukan terhadap para filsufnya, dan itupun terbatas pada poin-poin kesimpulan filsafat yang mengandung kadar inkonsistensi yang tinggi, baik bias dari piranti berpikir Aristoteles, maupun bias dari ajaran batang tubuh ortodoksi (Islam).
Secara tegas tulisan ini akan berpijak pada analisa sejarah, dimulai dari tahap SPA, pasca-Aristoteles sampai abad pertengahan di dunia Islam, untuk dapat menemukan gambaran tentang latarbelakang dan world view yang mempengaruhi beberapa pandangan filsafat. Analisa Sejarah seperti yang diuraikan di awal abstrak ini, dimungkinkan akan mampu memposisikan masing-masing "polemik" secara wajar dan semestinya, tanpa terjebak kepada permasalahan pro dan kontra, seperti yang biasa dilakukan di dalam menyikapi antara pandangan filsafat Peripatetik (Islam) di satu sisi, dan kritik al-Ghazali pada sisi lain. Padahal masing-masing adalah absah secara (hukum) ilmu dan filsafat.