Secara umum, pemikiran para filsuf muslim merupakan sintesa sistematis antara ajaran-ajaran Islam, Aristotelianisme dan Neo-Platonisme yang dipelopori oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Namun, sejak serangan yang dilakukan oleh al-Ghazali melalui Tahafut al-Falasifat, pemikiran filsafat di dunia Islam Barat, Sunni, mengalami pergantian suasana dari alam filosofis ke mistis, tasawwuf. Sedangkan di dunia Islam belahan Timur, Syi'i, pemikiran filsafat dan mistis tetap eksis berkembang bahkan keduanya saling melengkapi.
Harmonisasi yang sempurna dapat ditemui pada tokoh Suhrawardi yang bergelar Syaikh al-Isyraq. Suhrawardi memandang dirinya sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya al-hikmar al-laduniyyat (kebijaksanaan Ilahi) dan al-hikmat al-'atigat (kebijaksanaan kuno), dengan menggabungkan dua metode yang telah mapan, yaitu metode diskursif filosofis yang diwakili oleh Aristotelianisme dan metode dzawq mistis, yang diwakili oleh Platonisme, ke dalam satu metode komprehensif yang bersifat teosofis.
Dengan ajaran teosofinya, Suhrawardi mampu membangun suatu cabang aliran yang baru dalam tradisi filsafat Islam, sehingga wajar jika digelari pendiri filsafat iluminasi. Pada tataran ontologis, Suhrawardi menawarkan suatu temuan baru dengan memperkenalkan istilah-istilah tersendiri dalam mengungkapkan seluruh pemikirannya. Melalui terminologi cahaya, Suhrawardi menumbangkan teori emanasi akal sepuluh yang menjadi acuan umum hampir seluruh filsuf Muslim dan menawarkan suatu bentuk baru dengan menggunakan istilah cahaya dan tidak membatasi jumlah pancarannya. Inilah iluminasionisme, suatu pancaran cahaya yang berasal dari Nur al-Anwdr membentuk suatu bangunan utuh yang merupakan kesatuan penyinaran yang disebut wahdat al-Isyraq. Sementara dalam tataran epistemologis, Suhrawardi mampu menunjukkan kelemahan metode pengetahuan diskursif filosofis dan mempelopori munculnya metode baru yaitu 'ilmu hudhuri (knowledge by presence).