Indonesia adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari sektor agraris. Olehnya itu tanah merupakan salah satu sumber hidup dan mata pencaharian. Tanah sebagai harta dan modal yang sangat panting. Selain itu pula, tanah terkait dengan harkat dan martabat seseorang jika ditinjau dari aspek religius, hukum dan adat istiadat. Keterkaitan tanah dengan adat istiadat dapat dilihat dalam sistem perkawinan dalam masyarakat suku Bugis-Makassar. Salah satu syarat dalam perkawinan suku Bugis-Makassar adanya mahar. Mahar yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan dalam bentuk tanah.
Permasalahan dalam penelitian ini sejauh mana pemahaman perempuan atas tanah pemberian, bagaimana implementasi hak-hak perempuan atas tanah pemberian, bagaimana akses dan kontrol perempuan atas tanah pemberian dan bagaimana kebijakan pemerintah tentang tanah pemberian ini.
Analisis berpusat pada budaya patriarki dan bias gender yang terkonstruksi dalam keluarga suku Bugis-Makassar, dan konsep pemilikan tanah pemberian dikaitkan dengan Undang-undang Pokok Agraria. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif berperspektif perempuan. Penggunaan metode kualitatif dimaksudkan untuk mengungkapkan pengalaman dan permasalahan perempuan yang menerima tanah pada waktu menikah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan dalam perkawinan suku Bugis-Makassar sudah memahami sejak awal yaitu pada proses pelamaran bahwa ia akan menerima tanah sebagai mahar dalam perkawinannya. Pemahaman ini sebagai langkah awal untuk mengetahui hak-hak perempuan atas tanah tersebut. Terdapat tiga pola dalam pemilikan perempuan atas tanah pemberian yaitu (1) pemilikan tanah pemberian secara penuh; maksudnya memiliki sertifikat serta menikmati hasilnya (2) pemilikan tanah pemberian hanya sebagian; maksudnya tidak memiliki sertifikat tetapi menikmati hasilnya dan (3) pemilikan tanah pemberian hanya sebagai simbol, maksudnya tidak memiliki sertifikat dan juga tidak menikmati hasilnya. Paling dominan adalah pola yang kedua, pemilikan hanya sebagian saja. Berdasarkan pola pemilikan tersebut akses dan kontrol perempuan atas tanah dapat terjawabkan. Pada pola pemilikan 1 dan 2 perempuan mempunyai akses dan kontrol, sedang pada pola ketiga, perempuan sama sekali tidak mempunyai akses maupun kontrol. Kontrol perempuan atas tanah terbagi dua yaitu kontrol atas penikmatan dan kontrol atas pemilikan. Perempuan sebagai pemilik tanah yang diterimanya pada waktu menikah belum terlindungi oleh hukum dalam hal ini Undang-undang pokok Agraria, karena untuk mendaftarkan tanah tersebut masih diperlukan surat keterangan hibah dari pihak laki-laki sebagai pemberi kepada perempuan.
Land as Dowry in Marriage; Case Study Women from Bugis-Makssar Ethnic Group in South Sulawesi Receiving Land in Marriage Indonesia is a nation with most of its people making a living from Agricultural sector. Therefore, a plot of land constitutes one of living and livelihood sources_ Land is a very important property and capital. In addition, land is related to someone's pride and dignity if it is viewed from the aspects of religions, laws and traditional custom. Relatedness of land and traditional custom can be seen in the marriage system in the community of Bugis-Makassar ethnic group. One of the requirements in the marriage of Bugis-Makassar ethnic group is the existence of dowry. The dowry given by a man to a woman in the form of land. The study aims to gain insights of women's concepts of a gift land, implementation of women's right over the land, women's access and control to the land and the government's policy regarding the land.The analysis focuses on patriarchal culture and constructed gender bias in the Bugis-Makassar family, and the concept of ownership of the given land related to Law on Agrarian Principles. This study uses qualitative study method with women's perspective. The use of the qualitative method is aimed at exploring experience and problems of women receiving land when getting married.The results of study indicate that women in the marriage of Bugis-Makassar ethnic group have acknowledged that they will receive land as dowry since they were being proposed. This acknowledgment is considered as early step to recognize women's rights over the land. There are three (3) patterns in the women's ownership over the given land, namely (I) fully given land ownership; it means that they posses land certificate and take the harvests; (2) partly given land ownership; it means that they do not posses the land certificate but they take the harvests and (3) the given Iand ownership as a symbol only; it means that they neither possess the land certificate nor take the harvests. The foremost if of the second pattern, the land shall be only partly owned. In the ownership pattern Nos I and 2 the women have access and control, while in the pattern no. 3 the women have no access and control at all. The women's control over the land is divided into two, i.e. control over the harvest and control over the ownership. Women's rights over the the land as dowry have not been protected by Law in this case Law on Agrarian Principles because to register the land, it still needs formal and written statement from the man giving the land.