Perkembangan industri televisi yang pesat di Indonesia telah mengakibatkan timbulnya persaingan antarstasiun. Sinetron merupakan program yang paling diandalkan oleh stasiun-stasiun untuk meraih pemirsa. Ini ditunjukkan dengan adanya frekuensi penayangan sinetron yang sangat tinggi. Sinetron pun mendominasi peringkat atas perolehan rating.
Permasalahan muncul ketika rumah produksi dan stasiun hanya berfikir untuk memenuhi target kejar-tayang. Dalam kondisi demikian, mutu sinetron tidak membaik. Tema-tema yang dimunculkan berkutat pada masalah perebutan harta, tahta, dan perselingkuhan. Intrik-intrik dendam, fitnah, dan kekerasan menjadi warna dominan sinetron kita. Sebagian lagi menyebutkan bahwa sinetron kita hanya menjual mimpi.
Untuk memahami permasalahan di atas, peneliti menggunakan dua konsep psikologi-sosial, yaitu konsep prososial dan antisosial. Konsep prososial dioperasionalisasikan ke dalam sejumlah indikator, seperti berkasih-sayang, tolong-menolong, dan bekerjasama. Sedangkan konsep antisosial dioperasionalisasikan ke dalam indikator-indikator seperti, penganiayaan, kekerasan, dan ucapan kasar.
Dengan teknik analisis isi, peneliti mengamati adegan-adegan di 229 episode sinetron yang ditayangkan di delapan stasiun nasional mulai tanggal 13 April sampai 10 Mei 2003. Koding dilakukan untuk mernperoleh deskripsi sinetron berdasarkan konsep prososial dan antisosial. Selanjutnya, uji korelasi dibuat untuk menjelaskan kuat/lemahnya hubungan antara frekuensi pemunculan adegan-adegan prososial dan antisosial dengan rating.
Hasil olahan data menunjukkan bahwa adegan-adegan antisosial lebih sering muncul, yaitu sebanyak 45,40%. Sebaliknya, persentase prososial adalah sebesar 41,73%. Meskipun selisihnya tidak terlalu besar, namun angka di atas menunjukkan bahwa adegan-adegan antisosial dalam sinetron kita bukan sekedar "bumbu" untuk menciptakan konflik ini menjauhkan fungsi sinetron sebagai "cermin" budi-pekerti luhur bangsa.
Sedangkan uji korelasi menunjukkan hubungan yang lemah antara pemunculan indikator antisosial dengan rating, yaitu 0,157 pada signifikansi 0,05. Begitu juga korelasi antara pemunculan indicator prososial dengan rating menunjukkan hubungan negatif yang sangat lemah, yaitu -0,039 pada signifikansi 0,05.
Angka di atas menjelaskan bahwa sinetron yang penuh adegan antisosial ternyata belum tentu digemari pemirsa (memiliki rating yang tinggi) seperti yang diasumsikan oleh beberapa ahli dan sebagian masyarakat. Umumnya sinetron yang memiliki rating tinggi adalah sinetron-sinetron yang menampilkan tema-tema yang "ringan" dan mudah dipahami.
A fast growth of television industry in Indonesia has affected a critical competition among television stations. TV cinema becomes a top-ranking program, which is relied on obtaining viewers by stations. A high quantity of TV cinema that is presented on screen and a significant top-ranking domination of TV rating has been evidence.
A question appears by the time a limited deadline goes to Production House and TV stations presenting a TV cinema. Quality does not become a priority. Idea creativity has been stuck on the theme of wealth-power struggle and dishonest relationship. Conspiracy, enmity, grudge, slander, and violence color TV cinema dominantly. Some people deem it as only a dreams peddler.
Order to understand the question, we applied a social-psychology concept that names prosocial and antisocial behaviors. We could operationalize the concept of prosocial behaviors in to a number of indicators, such as love and affection, giving mutual aid/assistance, and cooperation. On the other hand, the concept of antisocial behaviors could be applied in to a number of indicators, such as violence, mistreatment, and dirty talking.
By using a content analysis technique, researcher observed all scenes inside 229 episodes of TV cinema, which were aired on eight national TV stations starting on April 13 up to May 10, 2003. Researcher did a coding in order to understand a description of TV Cinema based on those two concepts. Moreover, researcher tried to explain a correlation between incoming prosocial and antisocial scenes and television viewers rating survey.
The findings shows that the frequency of incoming antisocial scenes is higher than the frequency of incoming prosocial one (45.40% : 41.73%). Even though it doesn't show a big discrepancy, but it shows that antisocial scene has not anymore been a tool in building a story conflicts. It has been a main color on screen. This condition keeps growing the TV cinema away from its ideal function: educative, informative, and the look of our national personality.
the other hand, correlation research found that there is a weak-positive relationship between the frequency of incoming antisocial scenes and television viewers rating survey (coefficient 0.157 at the level of significant 0.05). Then, the correlation between the frequency of incoming prosocial scenes and television viewers rating survey showed a very weak-negative relationship as well (coefficient -0.039 at the level of significant 0.05).
Findings explain that viewers do not always prefer a cinema, which shows high antisocial frequent scenes as being assumed by some experts and observers. Generally, viewers choose an easy-light theme of TV cinema as their preference.