Penelitian ini memusatkan perhatian pada segi perencanaan sistem pengelolaan kedaruratan bahan beracun dan berbahaya (SPKB3). Bahan beracun dan berbahaya (B3) yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi bahan yang mempunyai golongan tabiat corrosive, flammable, infectious, radioactive, reactive (termasuk explosive), dan toxic. SPKB3 adalah bagian dari pengelolaan B3, sekaligus juga bagian dari sistem pengelolaan lingkungan dan keselamatan, kesehatan kerja (K3). Ia juga unsur pelengkap serangkaian upaya pencegahan pencemaran lingkungan sehari-hari. Suatu kedaruratan B3 dapat terjadi baik akibat suatu kecelakaan, peperangan, maupun akibat terorisme yang melibatkan B3. Suatu kedaruratan B3 dapat meningkat menjadi suatu bencana. Karena itu ia dianggap suatu ancaman baik terhadap K3, lingkungan, maupun keamanan negara.
Berbagai peristiwa kedaruratan B3 telah mengakibatkan kerugian jiwa dan jasmani yang sangat besar baik pada manusia maupun hewan dan unsur lingkungan lainnya.
Pada dasarnya kerugian yang lebih besar terhadap lingkungan yang dapat terjadi akibat kecelakaan atau terorisme dapat dicegah apabila ditanggulangi dengan cepat dan sangkil (effective). Hal ini dapat tercapai apabila pihak pengelola lingkungan, baik pemerintah, masyarakat industri maupun masyarakat luas di sekitar suatu tempat kejadian perkara (TKP) sudah memiliki kesiagaan dan kemampuan penanggulangan yang memadai. Serangkaian upaya kesiagaan dan penanggulangan kedaruratan B3 ini dapat menjadi lebih sangkil dan mangkus (efficient) apabila dikelola dengan pendekatan sistemik yaitu dalam suatu SPKB3. Dalam rangka mendukung kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan di bidang pencegahan dan perusakan lingkungan, berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat Eropa telah menunjukkan kesungguhan upaya meningkatkan kinerja SPK83-nya. Salah satu kunci penting sistem ini adalah penyusunan dan pelaksanaan rencana pengelolaan kedaruratan B3 (RPKB3) baik pada taraf antarabangsa (international), nasional (national) maupun taraf yang lebih rendah. Untuk memastikan kesangkilan sistemnya, mereka juga menetapkan dan memberlakukan berbagai peraturan, bakuan (standard) SPKB3, termasuk bakuan perencanaannya, dan berbagai pedoman pendukungnya. Berbagai peraturan, bakuan, dan pedoman itu berlaku sebagai perangkat kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan untuk diterapkan oleh pemerintah, masyarakat industri dan masyarakat luas.
Di Indonesia, kewajiban atas pengadaan suatu SPKB3 bagi tiap pengelola kegiatan yang melibatkan B3 dilandasi berbagai peraturan perundang-undangan seperti PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 74 Tahun 2001. Namun, peraturan perundang-undangan itu tidak menetapkan persyaratan atas unsur-unsur suatu SPKB3 dan RPKB3 sehingga tidak memastikan tersedianya landasan yang kuat bagi suatu SPKB3 yang sangkil. Selain itu, sampai saat berita ini diturunkan, tidak terdapat bukti bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mempunyai suatu RPKB3 baik yang bertaraf provinsial mau pun nasional. Ketiadaan suatu RPKB3 tidak memastikan kejelasan susunan dan wacana operasi suatu SPKB3, termasuk segi penyertaan peran masyarakat. Karena itu, hal ini juga tidak memastikan kesiagaan NKRI untuk menghadapi berbagai kemungkinan ancaman dari berbagai sumber yang melibatkan B3 terhadap lingkungan dan pertahanan negara.
Bertolak dari keadaan tersebut di atas, dan sebagai pelaksanaan hak dan kewajiban masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan lingkungan, peneliti memilih permasalahan pengelolaan kedaruratan B3 nasional sebagai bahan penelitiannya. Penelitian ini secara umum bertujuan mendukung penyempurnaan SPKB3 nasional, dan secara menjenis (specific) bertujuan: (1) memperoleh pendapat para pakar lingkungan mengenai beberapa segi penting SPKB3 nasional; (2) menetapkan pokok-pokok penting suatu RPKB3 yang layak dan sangkil berdasarkan pengalaman negara-negara maju dan pedoman/konvensi antarabangsa, dan (3) menetapkan taraf penting tiap pokok RPKB3 berdasarkan perannya dalam mencapai kesangkilan operasinya dengan mempertimbangkan rona lingkungan umum NKRI dan keadaan sumberdaya pendukungnya dewasa ini. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai: (1 ) gambaran mengenai perencanaan sistem tanggap darurat B3 nasional di Indonesia pada masa penelitian; (2) gambaran.mengenai perencanaan sistem tanggap darurat B3 nasional di beberapa wilayah hukum lain yang dikenal lebih maju pada masa penelitian; (3) bahan masukan bagi pembuat kebijakan mengenai beberapa segi penting yang patut dipertimbangkan dalam penyusunan atau penyempurnaan rencana SPKB3; (4) bahan dasar suatu bakuan RPKB3 yang selayak-layaknya, baik untuk digunakan langsung mau pun untuk disempurnakan lebih lanjut; dan (5) maklumat (information) tambahan dalam kaidah ilmu pengetahuan.
Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas metode kajian dokumen (desktop/documentation review) dan pendapat pakar (expert opinion). Perinciannya: (1) metode sigi (survey) untuk memperoleh pendapat pakar atas beberapa segi penting SPKB3 dengan perangkat berupa senarai pertanyaan (questionnaire): (2) metode kajian dokumen untuk menetapkan pokok-pokok penting RPKB3 dengan perangkat telaah wacana (conceptual analysis), serta analogi dan pendapat pakar dalam penyusunan strukturnya; (3) metode pendapat pakar untuk penetapan taraf penting pokok-pokok RPKB3 nasional dengan perangkat senarai pertanyaan dan prosedur Analytic Hierarchy Process (AHP). Data yang diperoleh diolah dengan operasi statistikal sederhana. Ada pun data yang diperoleh dengan prosedur AHP diolah dengan perangkat lunak (software) khusus.
Responden atau pakar lingkungan dan K3 yang dipilih untuk berperanserta dalam penelitian ini berasal dari: (1) berbagai lembaga pemerintah yang dianggap terkait dengan SPKB3 pada taraf nasional, provinsial dan lokal; (2) kalangan praktisi dari berbagai jenis industri; (3) kalangan pakar (konsultan dan pengajar perguruan tinggi). Jumlah responden yang direncanakan sebanyak 99 orang - digolongkan sebagai kelompok umum - untuk penelitian mengenai beberapa segi penting SPKB3, 23 orang di antaranya - digolongkan sebagai kelompok khusus - dipilih sebagai responden penelitian mengenai taraf penting pokok-pokok RPKB3. Selain itu, pakar lingkungan yang menjadi narasumber dalam menentukan struktur atau susunan pokok RPKB3 bakuan, dipilih sebanyak 3 orang- digolongkan sebagai tim kecil - yang diketahui peneliti masing-masing mempunyai pengalaman praktikal yang memadai baik dalam sistem pengelolaan lingkungan, sistem pengelolaan K3, mau pun pengelolaan kedaruratan B3. Ketiga anggota tim kecil itu masing-masing berasal dari lembaga negara (regulator), lembaga konsultansi (consultant), dan lembaga industrial swasta (practician).
Senarai pertanyaan diujicobakan lebih dahulu sebelum disebarkan secara resmi kepada seluruh responden yang telah ditentukan. Dari 99 responden kelompok umum, 82 di antaranya mengembalikan senarai pertanyaan. Ke-23 orang responden kelompok khusus mengembalikan senarai pertanyaan khusus. Namun, hanya 15 responden yang memenuhi batas inconsistency rate yang ditetapkan bagi jawaban responden dalam penelitian ini, yaitu 0, 15. Prosedur AHP memberikan pedoman batas inconsistency rate ≤ 0,1 . Toleransi batas maksimum inconsistency rate pada penelitian ini didasarkan pada kelangkaan pakar, keterbatasan dana, ketersediaan waktu sangkil, dan segi-segi operasional penelitian.
Hasil penelitian atas beberapa segi penting mengenai sistem pengelolaan kedaruratan B3 nasional, di antaranya, menunjukkan bahwa:
1. suatu sistem pengelolaan kedaruratan B3 mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam kaidah sistem pengelolaan lingkungan;
2. unsur perencanaan dalam suatu sistem pengelolaan kedaruratan B3 mempunyai peran sangat tinggi dalam menentukan kesangkilan operasinya apabila dilaksanakan;
3. suatu bakuan (standard) nasional bagi sistem dan perencanaan sistem pengelolaan kedaruratan B3 yang berlaku secara nasional sudah sangat dibutuhkan pada saat ini;
4. suatu pusat operasi pengelolaan kedaruratan B3 bertaraf nasional sangat dibutuhkan di Indonesia saat ini;
5. sungguh pun telah ada lembaga nasional yang berperan sebagai suatu pusat operasi bencana, yaitu BaKorNas PBP, ternyata taraf popularitasnya sangat rendah;
6. suatu bakuan kecakapan sumberdaya manusia dan kurikulum pelatihannya yang berlaku secara nasional sangat diperlukan untuk menjamin peran serta tiap orang yang ditugaskan dalam suatu sistem pengelolaan kedaruratan B3 secara sangkil dan sesuai dengan peran dan tugasnya;
7. penyertaan peran masyarakat dalam sistem pengelolaan kedaruratan B3 mempunyai landasan hukum yang kuat di Indonesia dan sangat dianjurkan pelaksanaannya sebagaimana dicontohkan di berbagai negara maju seperti negara-negara anggota Komisi Eropa, Amerika Serikat dan Kanada.
Hasil penelitian ini mengenai penetapan pokok penting suatu RKB3 yang layak menyimpukan bahwa suatu rencana sistem pengelolaan kedaruratan B3 pada umumnya mempunyai unsur berupa pokok-pokok ketentuan mengenai perencanaan pra-kedaruratan, organisasi dan pengelolaan sumberdaya, pengelolaan operasi kedaruratan lapangan, pengelolaan pasca-kedaruratan, serta perbaikan dan penyempurnaan sistem. Ada pun pokok perencanaan yang paling penting sehingga ketentuan-ketentuannya perlu ditetapkan secara seksama dan terperinci dalam rencana pengelolaan kedaruratan B3 nasional di Indonesia, menurut hasil penelitian ini, adalah pokok mengenai pengelolaan operasi kedaruratan lapangan. Hal ini berbeda dengan rencana nasional di wilayah hukum rujukan penelitian ini yang lebih memperinci ketentuan-ketentuan mengenai struktur organisasional dan pengelolaan sumberdayanya.
National Hazardous Materials Emergency Management System (A Study on System Planning Criteria)This research focuses on the planning aspect of a hazardous materials emergency management system. In the context of this research, a hazardous material is defined as a material or substance possessing one or more of the following characteristics: corrosive, flammable, infectious, radioactive, reactive (including explosive), and toxic. A hazardous materials emergency management system is part of hazardous materials management and environmental, health & safety management systems as well. It is also a supplement to the normal measures for pollution prevention. A hazardous materials emergency may be resulted from an accident, warfare, or terrorism involving hazardous materials. It may lead to a disaster. Therefore, it is considered a sort of threat to occupational safety & health, the environment, and national security.
Various hazardous material emergency events have resulted in significant impacts, both psychologically and physically, on either human or animals and materials emergency management. The absence of such a plan does not ensure the clarity of the operational concept and arrangements of a system, including the community involvement arrangement. Therefore, this also does not ensure the country's preparedness to respond to any possible threats involving hazardous materials from any sources to the country's environment and security.
Based on the abovementioned situation, and in order to meet the community right and obligation to participate in environmental management, the author has taken the national hazardous materials emergency management issue as the object of this research. The overall objective of this research is supporting the national hazardous materials emergency management system improvement and specifically: (1) gaining the environmental experts' opinion on some critical aspects of the national hazardous materials emergency management system; (2) identifying the essential components of an appropriate and effective hazardous materials emergency management plan based on the experience of some of the developed countries and international conventions / guidelines; and (3) assessing the relative importance of each essential component of the plan based on its role in determining the effectiveness of its implementation by taking into accounts the common environmental setting and the currently available resources in Indonesia.
It is hoped that the results of the research will be useful as: (1) a source of basic information on the current national hazardous materials emergency management planning status in Indonesia; (2) a description on national plans in the other jurisdictions known to be proved more effective; (3) inputs to policy makers in developing and or improving hazardous materials emergency management plans; (4) a basis for developing an appropriate standard for hazardous materials emergency management plan by either adoption or adaptation; and (5) additional information in the context of science.
The principal methods used in this research comprised desktop/documentation review and survey. Here are the details (1) survey method was used to collect expert opinions on some important aspects of the current national hazardous materials emergency management system through questionnaire instrument; (2) documentation review method was used to identify the essential elements of a hazardous materials emergency management plan or planning criteria through conceptual analysis, continued with expert opinion on establishing the structure of the plan; (3) survey method was used again to obtain professional judgment on the relative importance of the principal elements of a national plan through questionnaire instrument under the procedure of Analytic Hierarchy Process (AHP). The collected data were processed with simple statistical operations A special software was used to process the data obtained under the AHP procedure.
The respondents in this research were selected to represent groups of (I) various government institutions related to hazardous materials emergency management system at national, provincial and local levels; (2) practiclans from various types of industry; (3) experts in environmental, health & safety management from consulting firms and universities. The number of designated respondents was 99 - categorized as the general group - in the survey for some critical aspects of hazardous materials emergency management system, 23 of which were - categorized as the specialized group - selected to participate in the assessment of the relative importance of the system elements. In addition to the research advisor, 3 respondents - known by the author to possess practical experience in either environmental, health & safety, or hazardous materials management systems - selected to participate in developing the structure of the system planning criteria. Each of the small team members consecutively represented a government institution (regulator), a consulting firm (consultant), and a private industrial company (practicion).
The last draft of the questionnaires was first tried out by a selected respondent prior to the final release to the designated respondents. 82 out of the 99 respondents in the general group returned the responded questionnaires. The entire 23 respondents in the special group returned the responded questionnaires completely. However, only 15 respondents have their judgment met the inconsistency rate standard set out in this research, which is 0. l5. The standard maximum limits under AHP procedure is normally 0. 1. The author set out a higher tolerance to the inconsistency rate limit in this research by considering the scarcity of the hazardous materials emergency management experts in the country, available fund, available effective time, and operational aspect of the research.
The results of the research on some critical aspects of the national hazardous materials emergency management system indicate that:
1. The existence of a hazardous materials emergency management system ranked extremely high in the context of environmental management system;
2. The planning component in a national hazardous materials emergency management system is extremely important in determining the effectiveness of an emergency operation when implemented properly;
3. The current need for a national standard for hazardous materials emergency management system and its planning is extremely high;
4. An operational center (focal point) for hazardous materials emergency management is extremely required within a national system;
5. Although there is a government institution already established to serve as a focal point for disaster response at the national level, namely BaKorNas PBP, its popularity is extremely low;
6. A nation-wide standard for personnel qualifications and training curricula is extremely needed to ensure that each personnel assigned to a hazardous materials emergency management system is competent and able to participate effectively in accordance to his/her designated roles;
7. The involvement of the communities' roles in hazardous materials emergency management systems has a strong legal basis in Indonesia as it does in European Union's countries, the US, and Canada, but, the mechanisms or procedures for its implementation are still to be established and promoted.
According to this research, a hazardous materials emergency management system typically consists of provisions for pre-emergency planning organization and resources management, field emergency operations management procedures, post-emergency management, and system correction and/or improvement In addition, the field operations management procedures is judged to have the highest relative importance so that the provisions of the element should be specified more intensively than the other elements within the national plan in Indonesia. On the contrary, the most intensively detailed element within a national plan in the reference jurisdictions is the organizational structure and resources management.