UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Perubahan lingkungan hidup di kawasan pertambangan pt. freeport indonesia (studi tentang adaptasi masyarakat amungme di desa harapan kwamki lama dan masyarakat kamoro di desaNayaro, Kabupaten Mimika, Propinsi Papua)

Lambertus Tebay; S. Budhisantoso, supervisor (Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003)

 Abstrak

Salah satu masalah lingkungan Sosial yang dihadapi oleh PTFI ialah bagaimana memindahkan masyarakat Amungme dari Kampung Waa yang letaknya hanya 8 Km dari Kota Tambang Tembagapura ke Desa Harapan Kwamki Lama dan Masyarakat Kamoro Subsuku Nawaripi dari Kampung Kali Kopi ke Desa Nayaro, Kecamatan Mimika Baru, untuk menghindari kemungkinan terjadinya dampak negatif akibat pengelolaan PTFI.
Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua bekerjasama dengan PTFI untuk memindahkan masyarakat Amungme dan Kamoro dari lokasi lama ke lokasi pemukiman yang baru dengan tujuan, di samping menghindari kemungkinan terjadinya bahaya, agar mereka dekat dengan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi sehingga dapat melepaskan kebiasaan ladang berpindah, berburu, meramu, dan bergantung pada kemurahan alam dan berpenghasilan menetap. Dengan demikian ada perbaikan mutu kehidupan yang lebih layak bagi kemanusiaan. Namun sayangnya harapan itu tidak terwujud pada masyarakat Amungme, karena Bapak Kepala Suku Tuarek Natkime beserta para pengikutnya sejak awal tidak ikut pindah ke lokasi yang baru. Hal ini disebabkan karena menurut kepercayaan orang Amungme daerah kawasan tengah sampai kawasan pantai adalah kawasan yang terlarang, daerah pamali, tidak boleh dilihat oleh anak-anaknya karena di kawasan inilah terdapat alat kelamin vital Ibu Amungme, yang selalu menyusui dan memberi mereka kehidupan. Daerah ini enak untuk dilihat karena panoramanya yang indah tetapi tidak untuk dihuni, hanyalah tempat untuk cari makan. Bila melanggar maka resikonya adalah mara bahaya, sakit malaria, dan berbagai macam penyakit panu, kurap, kadas, sipilis, aids, dan lainnya. Yang pindahpun bertahan selama bantuan Pemerintah dan PTFI masih mengalir. Setelah terhenti, sebagian lagi kena penyakit malaria dan mati, sebagian lagi karena takut kena konfrontasi antara TNI dan Gerakan OPM pada tahun 1977, mereka semua melarikan diri ke lokasi lama. Kemudian hanya sebagian kecil kurang lebih 12 KK yang kembali ke pemukiman baru pada tahun 1980.
Memang disadari bahwa pemindahan masyarakat dari kawasan pegunungan ke kawasan tengah atau pesisir pantai membutuhkan daya adaptasi di lingkungan yang baru, apalagi secara budaya daerah ini dianggap sebagai daerah terlarang (pamali). Perbedaan iklim, jenis lahan pertanian, lingkungan alam dan sosial menjadi hambatan.
Melalui penelitian ini ingin diketahui:
1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sikap penduduk masyarakat Amungme dan Kamoro yang berkaitan dengan upaya pemukiman kembali.
2. Pola adaptasi di lokasi yang baru.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola adaptasi tersebut.
Sasaran penelitian adalah masyarakat Amungme dan Kamoro yang berada di lokasi lama maupun yang baru.
Dalam penelitian ini diajukan dua hipotesis yaitu:
1. Keterikatan kepada leluhur, tingkat pendidikan, usia, dan penghasilan tidak berpengaruh terhadap pola adaptasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Amungme dan Kamoro dalam menghadapi perubahan lingkungannya.
2. Kegiatan PTFI tidak ada pengaruhnya terhadap perubahan kelima fungsi sosial lingkungan hidupnya dan penyesuaian diri masyarakat Amungme dan Kamoro.
Yang menjadi responden penelitian ini adalah para Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM baik yang ada di lokasi lama maupun lokasi yang baru sebanyak 84 orang.
Data diperoleh melalui wawancara berstruktur, menggunakan kuesioner, wawancara mendalam melalui tokoh-tokoh: Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, dan pimpinan LSM yang ada di lokasi lama dan lokasi yang baru serta pengamatan di lapangan. Data sekunder di peroleh dari DSRID PTFI, dan berbagai lembaga Pemerintah di Kabupaten Mimika, Propinsi Papua.
Sikap dan pola adaptasi masyarakat Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali dianalisis dengan membandingkan keteguhan melaksanakan upacara adat, pendidikan, usia (tua/muda), dan tingkat penghasilan di pemukiman lama dan baru.
Pola adaptasi masyarakat juga dianalisis ada-tidaknya kegiatan PTFI yang telah menimbulkan dampak lingkungan yang pada gilirannya mendorong masyarakat Amungme dan Kamoro untuk menyesuaikan diri kembali terhadap perubahan ke lima fungsi sosial lingkungan hidupnya.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan jawaban para responden terhadap dua sampel yang tidak berhubungan (independent). Hasil yang diperoleh penelitian ini adalah:
1. Yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap warga Amungme dan Kamoro terhadap upaya pemukiman kembali di Desa Harapan Kwamki Lama dan Desa Nayaro, ialah:
a, keterikatan yang cukup kuat terhadap leluhur yang ditunjukkan dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Para kepala keluarga yang kembali terbukti secara signifikan lebih terikat kepada leluhur.
b. pendidikan formal kepala keluarga terbukti ikut mempengaruhi sikap mereka terhadap pemukiman kembali; Artinya kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal (walau hanya sampai kelas III SD) cenderung menerima upaya pemukiman kembali dan menetap di lokasi baru.
2. Adaptasi warga Amungme dan Kamoro di Kwamki Lama dan Desa Nayaro lebih cepat terjadi pada aspek sosial ekonomi dari pada budaya kebersihan lingkungan. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh:
a. perubahan pola pertanian dari pola subsistem ke tingkat produksi untuk pasar, perubahan pola pemanfaatan waktu luang dengan mencari penghasilan tambahan. Dengan demikian pendapatan rata-rata perkapita warga Amungme dan Kamoro di Desa Kwamki Lama dan di Desa Nayaro mengalami peningkatan hampir 75% di bandingkan dengan warga Amungme di lokasi lama.
b. perubahan makanan pokok sudah terjadi pada warga masyarakat Amungme dan Kamoro dengan menganggap nasi adalah makanan pokok ideal. Walau pun dalam kenyataan sebagian besar masih memakan umbi-umbian, karena keterbatasan keadaan ekonomi.
c. perubahan bentuk rumah, dapat dilihat dari rumah yang direnovasi menjadi rumah permanen, artinya mereka sudah meninggalkan bentuk rumah bulat dan panggung (inokep) dari lokasi lama.
d. budaya kebersihan lingkungan di lokasi baru belum di terima. Hal ini ditunjukkan oleh kebiasaan yang masih membudaya pada masyarakat Amungme dan Kamoro di lokasi baru yaitu membuang hajat tidak di MCK.
3. Pelaksanaan upacara-upacara ritual oleh warga Amungme dan Kamoro dapat di kelompokkan atas dua kategori yaitu:
a. upacara yang masih sering dilakukan yaitu upacara "Perang", "Perdamaian", "Pembayaran Kerugian Perang", "meminta kesuburan ", "kesejahteraan , "Kekayaan ", "Ibodewin ", dan "Hai". Kemudian "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Ti: Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro. Sikap terhadap pelaksanaan upacara tersebut dipengaruhi oleh faktor pendidikan, usia dan penghasilan.
Mereka yang berusia lanjut dan berpenghasilan lebih baik, memiliki kecenderungan untuk tetap mempertahankan tradisi upacara. Dalam hal ini terlihat bahwa upacara-upacara tersebut mempunyai fungsi sosial di samping fungsi sarana "penghubung" dengan leluhur, selain sebagai media pertemuan antar kerabat, baik yang ada di Waa maupun Kwamki Lama dan Nayaro.
b. upacara yang sudah mulai ditinggalkan yaitu upacara perang, pembayaran kerugian perang, ibodewin dan Hai pada masyarakat Amungme dan upacara kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao dari masyarakat Kamoro.
Upacara-upacara perang, perdamaian, pembayaran kerugian perang, ibode win dan hal pada masyarakat Amungme sudah mulai ditinggalkan karena tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sedangkan pada masyarakat Kamoro lainnya seperti rumah bujang dilarang oleh Belanda dan sudah hilang secara total, dan Heni Tarapao, Qfo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao mulai hilang karena tambelo yang biasanya dipergunakan dalam upacara adat ini mulai punah akibat pencemaran air limbah oleh PTFI.
Di sisi lain upacara ini sudah mulai ditinggalkan karena sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan sosial ekonomi, pendidikan formal, faktor usia, dan penghasilan warga Amungme dan Kamoro di lokasi yang baru. Artinya para kepala keluarga yang pernah menikmati pendidikan formal, berusia muda, dan penghasilan lebih baik mempunyai kecenderungan meninggalkan tradisi tersebut.
Sebagai pengakuan hak ulayatnya jumlah dana rekognisi yang di alokasikan adalah dana 1% untuk 7 suku dan dana perwalian sebesar 500 ribu dollar Amerika setiap tahun selama 25 tahun diberikan kepada suku Amungme (masyarakat di kawasan pegunungan). Sedangkan Suku Kamoro atas alih fungsi lahan 5000 hektar dusun sagu, tempat berburu, sungai sebagai tempat cari ikan, (kehilangan sungai, sampan, dan sagu) diberikan dana Rekognisi sebesar 25 Juta dollar Amerika selama 5 tahun yaitu mulai tahun 1998 - 2003 nanti. Walau pun mendapat pengakuan hak ulayat masyarakat adat namun masih dipermainkan oleh pihak ketiga. Sedangkan kerugian yang diderita tak ada bandingannya dengan nilai uang sebesar itu sehingga tak dapat menutupi segala kerugian yang dideritanya akibat pengelolaan PTFI. Kalau ada bandingan jika disediakan Dana Abadi bagi masyarakat yang terkena dampak secara langsung untuk sekian generasi yang akan datang.
Implikasi Penelitian
1. Di lokasi yang baru (Di Desa Harapan Kwamki Lama maupun di Desa Nayaro) warga Amungme dan Kamoro merasa diri "tidak aman" akibat pelayanan di segala sendi kehidupan yang mereka peroleh terutama perlakuan dari aparat keamanan di PTFI maupun operasi DOM dari TNI dan POLRI, dan Pemerintah. Untuk itu perlu ada usaha untuk menghilangkan kesan ini demi suksesnya upaya pemukiman kembali oleh PTFI, Depsos, Depnakertrans, dan Pemda Papua.
2. Membiarkan warga Amungme tetap di lokasi lama, mengingat mereka lebih memiliki falsafah kearifan lingkungan, dengan menganggap alam bagaikan seorang Ibu yang memberi makan, dan menyusui mereka setiap saat tanpa kenal lelah.
3. Untuk menghindari perusakan lingkungan, mereka perlu dibekali pengetahuan tentang kebiasaan bertani secara menetap, berladang dengan Cara terrasering, memakai pupuk alam, bibit unggul, dan penghijauan kembali lahan-lahan yang pemah diolah.
4. PTFI telah memberikan program REKOGNISI untuk menjamin keberhasilan penduduk setempat memelihara, meningkatkan kesejahteraan, dan kemampuan penduduk untuk mengembangkan pola-pola adaptasi (Strategic Behavior). Perubahan pada fungsi lingkungan yang drastis menuntut pengembangan strategic behavior maupun adaptive behavior secara perorangan maupun kolektif dengan mengembangkan ketrampilan dan keahlian kerja di luar sektor tradisional.

Environmental Changes Within The PT. Freeport Indonesia Mining Area (Studi of Adaptation Amungme community resettlement to Harapan Kwamki Lama regency and Kamoro community resettlement to Nayaro regency, District Mimika, Papua Province)The expansion of wasteland environmental sosial issues changes and disturbance of the PTFI is how to Amungme community resettlement at Kwamki Lama villages and Kamoro community resettlement at Nayaro villages in the middleland probably antisipation changes impact from PTFI operation area. This is an important issue in environmental problem management.
Depsos, Depnakertrans, and Governor Papua Province joint with PTFI for Amungme and Kamoro community resettlement a new location in middleland Kwamki Lama and Nayaro. Purpose is antisipation to probably pra accident near the central economic development, and the lost of semi nomads community from the highlands to the middleland which changes their way of living as nomade communities into permanent settlers. It is hoped, that as middleland settlers they would changes their method of slash and burn of into modern agriculture, and central economic development. In reality, Mr. Tuarek Natkime, Kepala Suku Amungme and several community people to choose to the still live in Waa village, because their believed one place (Danau Wanagon) is holy place and middle place until lowland place is bad place, many of them went back to their, former settlement during the first phase of the government's resettlement program, because they could not adapt their way of life to the new environmental conditions at the New location. Differences in climate, conditions of farmsland and social environment make it hard for them to adapt their way in the new settlement.
Their considerat resettlement community from highland to middleland, theirs need adaptation in the new environment, because culture community people this place is bad condition area.
This research was held with several objectives:
1. Factors that influence the attitude of the resettled community to wards the settlements project.
2. The adaptation patterns in their new location 3, Factors that influence the adaptation patterns
Respondents were chosen numbering of 80 family heads, from the Amungme 40 family heads and 40 family heads from Kamoro. Primary data for this research were obtained by questionaires, next to depth interviews with the community leaders as Kepala Suku, Tokoh Adat, Tokoh Agama, Government, and LSM in both locations. Secondary data were obtained from the OSTRID, PTFI, LEMASA, LEMASKO, District Mimika, and Papua Provincial Government Publications.
Research hypothesis that were tested in this research, were:
1. The bond between the resettled population and their ancestors, the level of formal education, age, and income factor not influence on the adaptation pattern, social, economic, and culture to the Amungme and Kamoro community in to face in the changes environment.
2. The activity PTFI operations have not grown environmental impact to motivate community some time to adapt to the changes social environment function.
The member's attittude of both Amungme and Kamoro communities to wards the resettlement program were analyzed by comparing the upper Amungme and Kamoro community with the middle Amungme and Kamoro community in consistency of performing their traditional rites, level of educations and age. Analysis were made by The Sign Tests Statistics, with two independent samples.
Research findings
1. Positive influence as factor in attittude formation for decision to resettle at Kwamki Lama and Nayaro:
a) Strong bond between respondents and their ancestors was the primar influencing factor for the community member to return to their old settlement.
b) Family Head's formal education has a strong correlation with decision to resettle. There were tendencies, that the family's head who went to the primary school could receive the resettlement program and therefor moved to Kwamki Lama and Nayaro
2. Adaptation of the middle Amungme dan Kamoro community was faster in socio-economic aspects than in cultural aspects especially at the environmental hygiene.
These findings were concluded from:
a) The average per capita incomes were higher 75% for the middle Amungme and Kamoro community much than the average incomes for the upper Amungme and Kamoro community 50%. Income was raised by changing agricultural technology from subsistence practices to the market production approach. Their spare time was also used more effectively used by doing labour jobs at the local market outside the Waa and Kali Kopi villages.
b) Change also happened at their staple food composition. The middle Amungme and Kamoro community had chosen rice as their main staple food, instead of sweetpotatoes, cassava and taro. Only lack of money, forced members of the Amungme and Kamoro community to choose non-rice as their main staple food.
c) Changes also took place at their house's construction form. The middle Amungme and Kamoro community has expanded their rowhouses, rather than restored into their traditional houses.
d) The habit to make cleanliness as part of their way of life was still not accepted. The middle Amungme and Kamoro community still did not use the latrines.
3. Performance of traditional rites can be categorized into two classes:
a) Traditional rites are still performed as usual, such as: "war", "peace", "paying to loss war", "to request to propose richness", "successful", "riches", "Ibodewin", "Hai", from Amungme community and "Kaware, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao from Kamoro community. Age and Income of family heads had stronger correlation with attitude in performing those rites than level of education.
b). Old age and better income in the Amungme and Kamoro Community were strong reasons for following those rites. These rites have social and spiritual meaning for them apart from fuel filling social functions of social; gathering meeting the upper Community relations.
c) Abandoned traditional rites, such as "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" from Amungme community and "kware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" from Kamoro community., because these rites were not compatible with the new way of life as a result of the resettlement program, and not relevant with the present. The missing mollusca Tambelo to begin exterminated the impact from PTFI operation.
Level of education, age and income have strong association with attittude in performing the "war ceremony, repaid war ceremony, ibodewin, dan Hai" and "kaware, rumah bujang, Heni Tarapao, Ofo Tarapao, Tu Tarapao, Nato Tarapao, Yamae Tarapao" rites. Young family's heads have stronger tendencies in abandoning the "ceremonys" rite.
Research Implications
1. The middleland Amungme and Kamoro Community at Kwamki Lama and Nayaro, felt that they belong into the category of "underprivileged", because of the less attention given to them, compared to other ethnic group of the same village. Thus, the village officials need to change their attittude in this respect, to ensure success of the resettlement program.
2. The allocated land to the original group, was not calculating the high birt rate after resettlement. In this case, a solution must be formed to solve the land problem to ensure economic progress of the resettlement program. It is also hoped, that the Upper Amungme community would become attracted to be resettled at Waa village.
3. Another option is to let care the Upper Amungme and Kamoro community live at Kwamki Lama and Nayaro into new function such as managers of the forest ecosystem. To ensure that the environment won't be harmed, the Government can educate them with proper knowledge in agricultural methods.
4. Recognitive have to supported from the Freeport Indonesia company but cannot be abble to succesfully community in increase their living such as calculate from Government, FTFI Company, NGO's, without develop strategic behavior from community. Because drastis changes to environmental function to demand individual although collective developing strategic behavior and adaptive behavior with developing skill, and training programme the another traditional sector.

 File Digital: 1

Shelf
 T 11115-Perubahan lingkungan.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Tesis Membership
No. Panggil : T 11115
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten :
Tipe Media :
Tipe Carrier :
Deskripsi Fisik :
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T 11115 15-17-727776111 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 73580
Cover