Sejak berakhirnya rezim Orde Baru (pimpinan Soeharto) spektrum politik Indonesia diwarnai oleh pergulatan elit politik yang terpilah dalam banyak kelompok. Hal ini terutama terefleksi dari bermunculannya puluhan partai politik yang masing-masing terpilah akibat perbedaan visi dan mini atau bahkan spektrum ideologi. Kelompok Islam dan atau yang memakai simbol-simbol Islam merupakan salah satu dari sekian kelompok yang ikut andil dalam "pertarungan" politik tadi.
Bahkan, kubu Islam sendiri terfragmentasi pula dalam beberapa kelompok (varian) yang kadangkala bersaing bahkan bertentangan. Munculnya belasan partai Islam adalah bukti konkrit dari fragmentasi kubu Islam tadi. Bahkan, selain partai-partai politik Islam, ternyata masih muncul pula kekuatan-kekuatan politik Islam non-partai seperti terefleksi dari munculnya berbagai milisi (seperti Front Pembela Islam, Front Hizbullah, Laskar Jihad dan lain-lain) yang banyak diantaranya tak punya afiliasi -apalagi koordinasi- dengan partai politik Islam tadi.
Yang pasti, setiap varian kekuatan politik Islam tadi ternyata masing-masing mengklaim sebagai representasi dari aspirasi ummat. Masing-masing memakai bermacam simbol dan berbagai idiom Islam guna menarik simpati massa, bahkan cukup sering menggerakkan massa untuk tujuan politik mereka.
Sebenarnya, fragmentasi politik Islam di Indonesia bukanlah fenomena baru. Pada Era Orde Lama misalnya, kekuatan politik Islam juga mengalami fragmentasi dalam beberapa partai semisal Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiah Indonesia (Perti). Era Orde Baru kendati kekuatan politik Islam difusikan dalam satu kekuatan bernama Partai Persatuan Pembangunan, namun fragmentasi antar unsur tetap terjadi, yang bermuara pada peristiwa penggembosan PPP oleh NU tahun 1984. Ketika Orde Baru berakhir, fragmentasi politik Islam kembali terjadi, bahkan dalam wujud yang lebih fulgar, dimana keterbelahan politik Islam mengkristal dalam wujud belasan partai Islam.
Jika dicermati, fragmentasi politik kaum santri di Indonesia ini tak terlalu mengherankan mengingat akar-akarnya telah lama tertanam dalam wujud khilafiah-fiqhiah (perbedaan pemahaman nilai), yang pada akhirnya berpengaruh pada interpretasi pemaknaan kebijakan politik. Selain itu adanya kepentingan politik dari setiap kelompok kaum santri juga ikut menjadi benih bagi tumbuhnya fragmentasi. Berbagai perbedaan penyebab fragmentasi politik santri pasca Orde Baru ternyata bertambah variasinnya dibanding era sebelumnya. Memang, antara subkultur modern dan tradisional (yang menjadi trade-mark utama era Orde Lama) sebenarnya telah melakukan dialog panjang dan proses pendekatan, sehingga jurang pembeda antara dua kultur tadi relatif menyempit.
Namun, realitas perbedaan antara dua sub kultur terutama dalam konteks akar rumput (grass root) bahkan dalam pola hubungan elit dan basis massa tampaknya masih eksis (ada) dan tak mungkin untuk diabaikan. Fakta inilah yang menyebabkan keterbelahan politik Wasik yang berpijak pada dua sub kultur tadi tetap ada, kendati tak setajam era sebelumnya. Bahkan, pasca Orde Baru berkembang pula fenomena lain dalam politik kaum santri (terutama telah dimulai era Orde Baru) yakni perbedaan antara penganut pemikiran Islam kultural (kaum substansialis) dan Islam politik (kaum formalis). Fenomena baru ini telah pula meramaikan keterbelahan politik di lingkungan santri.
Fragmentasi politik Islam dengan segala penyebabnya tadi tentu saja potensial menumbuhkan konflik intra ummat, bahkan dapat melebar menjadi konflik antar ummat. Namun, perlu dipaharni bahwa politik dalam perspektif Islam hakekatnya merupakan pentakwilan sosial atas ajaran Islam. Sebagai pentakwilan pluralitas akhirnya merupakan sebuah kewajaran, sebagai sebuah kekayaan pemikiran yang seharusnya berguna untuk mencapai kemajuan. Hal yang justru tak wajar adalah bila fragmentasi disikapi dengan cara ekstrim, anti pluralitas, yakni : pertama, bahwa di tengah perbedaan (pluralitas) seolah tak ada sesuatupun yang dapat menyatukan (menjembatani) untuk mencipta kebersamaan. Pemikiran ini dapat menimbulkan sikap ekstrim bahwa kelompok berbeda mesti diperangi, dinihilkan, dihancurkan, karena pihak pesaing akan mengganggu sebuah kemapanan (status quo). Kedua, bahwa pluralitas dipandang sebagai ancaman bagi keharmonisan dan oleh karena itu secara antusias berusaha menciptakan sebuah uniformity dengan mengabaikan realitas perbedaan.
Dua pemikiran dan sikap ekstrim tadi akhirnya akan berpengaruh negatif pada stabilitas, integrasi dan atau ketahanan nasional, karena pola pikir dan sikap seperti itu pada akhirnya dapat menimbulkan perlawanan yang tak kalah ekstrimnya. Terjadi atau tidaknya implikasi negatif dari pluralitas dan atau fragmentasi politik Islam tadi tergantung pada kapabilitas (kemampuan) elit-elit politik Islam dalam menformulasikan managemen konflik antar mereka. Selain itu campur tangan pemerintah dalam tingkat tertentu untuk mengelola konflik agar tak melebar dan tak mengarah pada pembusukan politik juga menjadi penting. Namun efektifitas peran pemerintah untuk mengelola konflik antar elemen politik di masyarakat tentu sangat tergantung pada kredibilitas independensi pemerintah terhadap elemen-elemen politik yang terfragmentasi tadi.