Pembangunan Pertanian mulai dilaksanakan sejak tahun 1969 bersamaan dengan pelaksanaan Repelita I. Pembangunan pertanian dilaksanakan dengan adanya gerakan Revolusi Hijau, dimana di Indonesia pelaksanaan Revolusi Hijau itu lebih dikenal dengan gerakan Bimas yang berintikan tiga komponen pokok yang meliputi; pertama, penerapan teknologi baru pertanian yang dikemas dalam pelaksanaan program Panca Usaha Tani dalam proses produksi yang harus dilakukan oleh para petani untuk meningkatkan hasil pertaniannya, kedua, kebijakan harga yang ,dilakukan oleh pemerintah baik yang berupa kebijakan harga untuk saprodi maupun harga hasil produksi (harga dasar gabah), ketiga, kebijakan untuk memberikan kredit yang lunak untuk membantu para. petani mendapatkan saprodi yang di perlukan dan juga pembangunan sarana dan prasarana produksi terutama di daerah pedesaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan dan penerapan teknologi pertanian yang dikemas dalam program Panca Usaha Tani ini dan adanya perubahan dalam sistem penyakapan tanah atau sistem bagi hasil di Kabupaten Ponorogo.
Pelaksanaan program Bimas memang secara nyata telah berhasil untuk meningkatkan hasil produksi pertanian terutama padi, dimana dengan pelaksanaan program Panca Usaha Tani tersebut telah membawa negara Indonesia berswasembada pangan pada tahun 1984. Namun demikian penerapan teknologi pertanian baru yang berupa penerapan Panca Usaha Tani itu ternyata juga banyak membawa akibat yang kurang menguntungkan terutama bagi petani kecil yang hanya memiliki lahan sempit atau petani yang tidak mempunyai lahan sama sekali yang pada umumnya sebagai petani penggarap bagi hasil. Hal ini disebabkan karena ternyata teknologi pertanian baru itu semuanya harus dibeli, baik bibit unggul, pupuk maupun obatobatan kimiawi yang harganya relatif cukup mahal. Penerapan teknologi pertanian baru juga telah membawa perubahan cara bertani yang tradisional, dan menggeser adanya kerja gotong-royong, sistem panenan dari pemberian bawon ke sistem tebasan yang semuanya lebih bersifat rasional dan ekonomis.
Penerapan teknologi baru pertanian juga telah mengakibatkan semakin bergesernya fungsi, arti serta nilai awal yang terkandung dalam sistem penyakapan tanah, yang pada mulanya lebih bersifat untuk menjaga harmoni sosial desa, dengan cara saling membantu antara petani kaya dengan petani miskin yang tidak berlahan atau berlahan sempit yang berperan sebagai petani penggarap. Sistem penyakapan bagi hasil yang mencerminkan adanya hubungan yang saling membantu yang terlihat dalam sistem bagi hasil maro dengan hak dan kewajiban yang sama antara pemilik tanah dan penggarap telah berubah menjadi sangat bervariasi sekali. Di kabupaten Ponorogo sistem penyakapan tanah dengan pola maro itu setelah diterapkannya teknologi pertanian baru telah banyak yang bergeser menjadi sistem bagi hasil dengan pola mertelu atau mrapat yang cenderung sangat merugikan petani penggarap. Hal itu disebabkan karena para petani penyakap tersebut merasa tidak mampu lagi untuk berperan serta dalam membiayai proses produksi pertanian yang semakin mahal. Oleh karena itu para petani kaya pada saat sekarang dianggap kikir, karena segala sesuatunya serba dipertimbangkan secara rasional dan ekonomis bukan berdasarkan pertimbangan sosial lagi.
Untuk meningkakan kesejahteraannya, maka banyak dari anggota keluarga petani miskin yang lahannya sangat sempit dan petani penyakap kemudian melakukan migrasi keluar negeri dengan menjadi Tenaga Kerja di luar negeri (baik TKI maupun TKW), yang kemudian dengan modal yang diperolehnya mereka akan membuka usaha diluar sektor pertanian, misalnya; membuka toko makanan, menjadi pedagang gabah, pedagang ayam, membeli mobil omprengan baik mobil angkutan barang maupun angkutan penumpang umum, membuka wartel, membuka bengkel, membuka usaha penggergajian, membuka usaha penggilingan padi dan wiraswasta industri rumah lainnya.