Penelitian yang membahas tentang penindakan pelanggaran lalu lintas oleh PPNS-PLLAJ di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat ini dilatarbelakangi oleh fenomena pelanggaran oleh aparat dalam menjalankan tugas yang justru makin membuat terpuruknya upaya penegakan hukum di bidang lalu lintas.
Masalah penelitian adalah tindakan hukum terhadap pelanggar lalu lintas, dan fokus penelitiannya dititikberatkan pada pelanggaran kewenangan hukum oleh PPNS-PLLAJ. Untuk itu dibuat hipotesa penelitian yaitu jika penindakan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh PPNS-PLLAJ di wilayah hukum Polrees Metro Jakarta Barat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran kewenangan hukum.
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi ini, Cara pengumpulan data dan informasinya dilakukan dengan teknik wawancara dan pengamatan secara langsung pada obyek yang diteliti. Adapun teori yang memayungi penelitian ini adalah teori penegakan hukum yang ditinjau dari teori kekuasaan, teori penyimpangan, serta teori koordinasi dan pengawasan.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pelanggaran kewenangan hukum oleh PPNS-PLLAJ dalam penindakan pelanggaran lalu lintas, dan peraturan perundang-undangan yang diabaikan adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan, Nota Kesepakatan Bersama Kaplri dengan Para Direktur Jenderal selaku Pembina PPNS tanggal 24 Februari 1999 serta beberapa Keputusan Kapolri menyangkut koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis PPNS-PLLAJ.
Dilihat dari sanksi hukumnya, bahwa pelanggaran pada tahap persiapan dan pengiriman berkas perkara yang tidak melalui Polri merupakan pelanggaran non pidana yang bersifat administratif, sedang pelanggaran pada tahap pelaksanaan penindakan merupakan pelanggaran pidana yang bertentangan dengan pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta pasal 3 dan pasal 12 ayat (e) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Fenomena pelanggaran kewenangan hukum tersebut antara lain dilatarbelakangi oleh faktor kekuasaan, egoisme sektoral yang cenderung melepaskan diri dari konteks koordinasi dan pengawasan, serta kurangnya respon pihak Polri selaku penyidik, yang kesemuanya bermuara pada timbulnya penyimpangan dalam bentuk pungutan liar (pungli) yang merugikan masyarakat pemakai jalan.
Bentuk-bentuk pelanggaran kewenangan hukum tersebut terutama dapat disimak dari penghentian kendaraan bermotor di jalan oleh PPNS-PLLAJ tanpa didampingi penyidik Polri, pelaksanaan penindakan yang tidak berada di bawah koordinasi Polri, pelaksanaan tilang yang menyimpang dari ketentuan penyidikan, penugasan personil yang tidak memenuhi syarat kualifikasi sebagai penyidik serta pengiriman berkas perkara tilang yang disampaikan langsung ke Pengadilan.
Sehubungan dengan fenomena pelanggaran kewenangan hukum tersebut, penulis memberikan rekomendasi agar Nota Kesepakatan Kapolri dengan Para Direktur Jenderal selaku Pembina PPNS tahun 1999 yang lalu diperbarui, kemudian dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan untuk masing-masing bidang PPNS. Atas dasar Nota Kesepakatan yang baru ini, Mabes Polri menginstruksikan kepada para Kapolda dengan berkoordinasi dengan Direktur Lalu Lintas Pala membuat petunjuk teknis yang melibatkan para Kapolres.
Selain itu, Mabes Polri diimbau untuk melakukan pemantauan secara berkala atas implementasi ketentuan yang baru tersebut dan mengambil langkah-langkah untuk memaksimalkan pelaksanaannya di lapangan. Di sisi lain, pertemuan berkala antara Kapolda dengan Dinas Perhubungan diperlukan untuk membahas hal-hal yang bersifat teknis administratif, serta ditindaklanjuti dengan pertemuan berkala para Kapolres dengan Suku Dinas Perhubungan untuk membahas hal-hal yang sifatnya teknis operasional.
Dalam upaya mencapai tegaknya hukum di bidang lalu lintas, perlu direvisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dengan cara menambah penjelasan pasal 7 secara jelas, yang kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan oleh Menteri Kehakiman dan HAM atau keputusan Bersama Kapolri dengan Direktur Jenderal Perhubungan Darat.
Demikian pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993, khususnya pasal 8 hendaknya dipertegas bahwa PLLAJ juga berwenang menghentikan kendaraan bermotor di jalan dalam rangka pemeriksaan. Sebagai upaya untuk mengurangi pelanggaran kewenangan hukum tersebut, diimbau kepada Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk meningkatkan kesejahteraan PPNS-PLLAJ dan petugas PLLAJ yang bertugas melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor.