Tesis ini bertujuan menunjukkan bahwa kemunculan dan beroperasinya kejahatan terorganisasi terhadap TKI dapat terjadi karena lemahnya posisi TKI baik secara sosial terlebih secara hukum dalam Struktur Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Kejahatan terorganisasi terhadap TKI merupakan kejahatan yang memiliki pola yang selalu mengikuti eksistensi pola pengelolaan penempatan TKI itu sendiri, dimana keberadaannya sengaja diorganisir secara rahasia oleh orang-orang yang memiliki legalitas formal untuk mengelola penempatan TKI ke luar negeri. Untuk mempertahankan kelanggengan tindak kejahatannya, para pelaku menjalin hubungan kolusi dengan berbagai pihak, baik yang memiliki otoritas formal maupun informal. Pihak-pihak yang memiliki otoritas formal meliputi oknum anggota Polisi, TNI, Depnaker, Depkeh: Dephub, Pemda, DPRD, oknum pegawai Bank, dan lain-lain. Sedangkan pihak yang memiliki otoritas informal terdiri atas oknum warga masyarakat yang memiliki modal, Wartawan, LSM, dan Tokoh Masyarakat.
Adanya hubungan yang bersifat kolusi antara para pelaku kejahatan terorganisasi dengan aparat hukum dan aparat lainnya menunjukkan bahwa praktek kejahatan teroganisasi berbaur dengan tingkah laku hukum dan lebih bergantung pada kerjasama politik. Oleh karenanya eksistensi kejahatan terorganisasi lebih berbahaya karena mampu mempengaruhi aparat publik dalam mengambil kebijakan. Kenyataan demikian mengukuhkan pendapat Massimo Pavarini yang menyebutkan bahwa kejahatan terorganisasi adalah kejahatan yang lebih teratur, lebih berbahaya, lebih bercampur dengan tingkah laku hukum dan lebih bergantung pada kerjasama politik (David Nelken:48-50).
Sasaran utama para pelaku kejahatan terorganisasi terhadap TKI pada tahap pemulangan adalah valuta asing yang dibawa oleh TKI sekembalinya mereka dari bekerja di luar negeri, yang umumnya dalam bentuk tunai atau kertas berharga. Jenis kejahatan yang paling sering menimpa TKI adalah penipuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 378 KUHP dan atau pemerasan seperti termuat dalam pasal 368 KUHP. Para pelaku mengemas tindak kejahatan dengan menjalin hubungan simbiotis dengan ekonomi yang legal/sah, yang diwujudkan dalam bentuk usaha penukaran valuta asing, penjualan barang souvenir, elektronik dan atau perhiasan. Kejahatan penipuan dan atau pemerasan juga ditampilkan dengan melakukan rakayasa kerusakan kendaraan dan atau perampokan serta pemalakan.
Keengganan TKI memanfaatkan jasa Bank untuk melakukan penyimpanan dan pengiriman uang yang diperolehnya selama bekerja di luar negeri serta kebiasaan TKI membawa uang dalam bentuk tunai memberi andil dominan bagi merajalelanya kejahatan terhadap TKI. Hal lain yang turut menjadi penyumbang bagi merajalelanya kejahatan terhadap TKI adalah celah-celah sistem pengelolaan pemulangan TKI yang belum mampu memberikan jalan keluar terhadap akar masalah yang sesungguhnya, yaitu pengamanan uang yang dibawa oleh TKI. Akibatnya, TKI tidak hanya sekedar dirugikan melainkan juga tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya guna peningkatan kualitas kesejahteraan dari aspek ekonomi secara leluasa karena sebagian dari uang yang dibawanya telah berpindah tangan ke para pelaku.
Penanganan oleh pihak kepolisian, khususnya dalam hal penegakan hukum terhadap kejahatan terorganisasi yang menimpa TKI, dalam kenyataannya belum mampu menumbuhkan efek jera, karena hanya mampu menjerat pelaku di lapis terdepan, sementara pelaku pada lapis tengah dan lapis atas belum terjamah, sehingga mereka tetap memiliki keleluasaan untuk mengatur jalannya praktek illegalnya . Kenyataan demikian tidak terlepas dari efektivitas cara kerja yang digunakan oleh para pelaku kejahatan yang menerapkan strategi sistem kerja terputus (cut out system) dan dan kepiawaian mereka memanfaatkan peluang dan kelemahan hukum sehingga menyulitkan aparat kepolisian pada sisi pembuktian. Upaya preventif oleh pihak kepolisian pun belum mampu meniadakan faktor korelatif bagi berprakteknya kejahatan terorganisasi, yakni dalam bentuk pengamanan uang yang dibawa oleh TKI. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pihak yang turut menentukan suatu langkah pemecahan, sehingga memakan waktu bahkan dalam proses pembahasannya kehilangan fokus. Ditemukan pula adanya ekses dari tindakan kepolisian.
Mengacu pada hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kejahatan dapat berlangsung dan bepotensi untuk berkembang secara terus menerus karena dilakukan oleh lebih dari satu orang, dalam pelaksanaannya dikelola secara terorganisasi dengan pembagian peran yang sistematis, melibatkan pihak-pihak yang memiliki otoritas serta senantiasa mengikuti perkembangan fenomena pasar untuk menentukan strategi kejahatan. Penerapan strategi yang selalu berorientasi pada fenomena pasar dalam kejahatan penipuan dan atau pemerasan terorganisasi tidak hanya efektif memperdaya calon korbannya melainkan juga efektif dalam mengamankan aktivitas kejahatan dari jeratan dan pantauan aparat hukum, karena eksistensi fenomena pasar bepeluang bagi timbulnya variasi interpretasi gramatikal hukum, baik oleh para pelaku untuk membela dirinya maupun dikalangan aparat hukum itu sendiri, sehingga, ditemukan variasi keputusan penyelesaian terhadap suatu peristiwa pidana yang serupa.